06 Oktober 2009

PT RECAPITAL GAGAL

Dipasena Lepas dari Recapital:4.000-an Petambak Plasma Gelar Pengajian

JAKARTA (Lampost): Recapital Advisors akhirnya gagal memenuhi kewajiban melunasi sisa pembayaran revitalisasi inti PT Dipasena Citra Darmaja (Dipasena) Rp800 miliar kepada pemerintah.

ANCAMAN BOM. Polisi bersenjata laras panjang berjaga-jaga di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Kamis (1-3). Petugas memperketat penjagaan di tempat tersebut setelah ada ancaman bom dari seseorang yang mengaku anggota Al Qaeda yang menelepon kantor polisi.
(AFP/BAY ISMOYO)

Sebagai konsekuensi gagal bayar (default) ini, Recapital kehilangan hak ekslusif mengonversi dana revitalisasi yang telah disetorkan menjadi saham. Bahkan, Recapital juga kehilangan Rp700 miliar yang sudah disetorkan kepada PPA.

Komisaris Utama Recapital Sandiaga Uno, kepada Media Indonesia (grup Lampung Post), Kamis (1-3), menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat bahwa pihaknya gagal memenuhi kewajiban sesuai batas waktu yang ditetapkan pemerintah, yaitu tanggal 1 Maret 2007.

Ia mengakui jika pihaknya melakukan kesalahan dalam perhitungan kompleksitas persoalan di Dipasena. "Ada beberapa hal yang ternyata kompleksitasnya salah diperhitungkan. Hal itu mengakibatkan target tidak bisa dipenuhi," kata Sandiaga.

Ia mengungkapkan pihaknya telah meminta perpanjangan waktu pelunasan hingga bulan Mei 2007. Namun, PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), sebagai wakil pemerintah di Dipasena, menolak permohonan tersebut dan tetap meminta Recapital melunasi kewajiban tanggal 1 Maret kemarin.

Kini Recapital menyerahkan segala keputusan kepada PPA.

"Kami menyerahkan keputusan kepada PPA, apakah tetap memercayakan Dipasena kepada kami atau ada opsi lain," ujar Sandiaga. Hingga kini, ujarnya, PPA belum bersikap atas kegagalan ini.

Sementara itu, Wakil Direktur Utama PPA Raden Pardede mengatakan pihaknya akan melaporkan kegagalan Recapital tersebut kepada Menteri Keuangan. "Setelah itu, Menteri Keuangan yang akan memutuskan langkah berikutnya," kata Raden.

Akibat kegagalan Recapital tersebut, nasib 11 ribu petani plasma Dipasena juga makin gelap. Pasalnya, kegagalan tersebut akan membuat janji pemberian bantuan kredit Rp1,1 triliun atau Rp100 juta per petani plasma menjadi tidak jelas.

Pengucuran kredit ke petani plasma itu bergantung pada pelunasan yang sedianya dilakukan kemarin. Dipasena kini juga terancam tidak bisa beroperasi kembali.

Seperti diketahui, Dipasena merupakan satu dari tiga perusahaan yang diserahkan obligor Sjamsul Nursalim sebagai bagian penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Rp28,4 triliun.

Namun, setelah terjadi konflik antara petambak (plasma) dan Sjamsul (inti), operasi tambak ini berhenti dan nilainya merosot drastis. Padahal, Dipasena pernah tercatat sebagai perusahaan tambak udang terbesar di Asia Tenggara.

Pada tanggal 27 Oktober 2005, Dipasena dan Recapital selaku preferred creditor menandatangani master agreement dan bridging loan untuk pembiayaan revitalisasi tambak udang Dipasena Group.

Mereka sepakat segera melaksanakan proses pencairan pinjaman dengan total pinjaman 150 juta dolar AS untuk pembiayaan inti dan kurang lebih Rp900 miliar pembiayaan untuk sekitar 11 ribu petambak plasma Dipasena Group, termasuk pencairan bridging loan Rp233 miliar untuk petambak plasma sebelum hari Lebaran tahun 2006.

Pengajian

Sementara itu, sekitar 4.000 petani plasma PT DCD dan 500-an karyawan perusahaan tambak udang di Rawajitu Timur tersebut menggelar pengajian akbar guna memperingati tewasnya Riswandi, petambak plasma Blok 10. Riswandi tewas dalam tragedi tanggal 1 Maret, enam tahun silam, akibat tertembak.

Pengajian yang dipusatkan di tanggul penangkis PT DCD, kemarin, sejak pukul 09.00 hingga 11.30, berjalan tertib. Pengajian juga dihadiri aparat keamanan setempat dari Koramil Rawajitu Selatan, Polsek Rawajitu Selatan, Polairud Rawajitu, serta jajaran Devisi Kemitraan yang mewakili manajemen PT DCD.

Pada acara tersebut, Ketua P3UW Parjono Diarjo menyampaikan pesan kepada masyarakat plasma bahwa P3UW sangat prihatin dengan berlarut-larutnya proses revitalisasi PT DCD.

Namun, Parjono berpesan agar semua kegagalan revitalisasi ini bisa memberikan hikmah yang lebih baik. "Ambil saja hikmahnya," ujar Parjono di hadapan plasma. Pihaknya juga mengimbau semua elemen, termasuk karyawan dan plasma, untuk tetap bersatu.

Menurut mantan Sekjen P3UW Nafian Faiz, kegiatan ini merupakan bukti solidaritas sesama plasma yang meninggal pada tragedi tanggal 1 Maret enam tahun silam. Saat itu, ujar Nafian, korban tertembak di mata oleh pengawal Sjamsul Nursalim saat melakukan tuntutan kepada manajemen. n WID/R-1

dari dulu plasma udah ragu dengan neptune

Presiden Jangan Lepas Tangan Post Info Tuesday, March 24th, 2009 16:59 by agroindonesia Print Print this page

Ribuan petambak plasma yang tergabung pada PT Aruna Wijaya Sakti (AWS), anak perusahaan PT Centralproteina Prima Tbk (CP Prima), kini resah. Mereka mengeluh dihentikannya program revitalisasi tambak oleh perusahaan inti. Dampaknya, nasib ribuan petambak plasma jadi tak jelas.

Keresahan itu diungkapkan Sekretaris Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) PT AWS, Syukri J Bintoro. Menurut Syukri, akibat terhentinya revitalisasi tambak udang sejak Januari 2009, kehidupan petambak plasma makin tidak menentu. Dari 7.221 petambak plasma yang terdaftar di P3UW, hanya 10% yang memilih ikut budidaya antara lanjutan di kolam-kolam yang sebagian besar masih rusak. Sedangkan sekitar 10%-15% petambak lain bertekad melakukan budidaya mandiri, meskipun perusahaan tidak membolehkan, dan sebagian lain menunggu revitalisasi selesai.

“Karena kondisi kolam yang tidak memadai, maka hasil panen pun tidak maksimal. Bahkan, dari dua kolam hanya dihasilkan sekitar 2 kuintal. Padahal, hasil budidaya tersebut sebagian besar untuk bayar utang biaya budidaya kepada perusahaan,” kata Syukri.

Itu sebabnya, Syukri mengaku para petambak sangat mengharapkan bantuan pemerintah. Mereka meminta pemerintah turun tangan lantaran CP Prima tak memenuhi target program revitalisasi tambak di wilayah Lampung tersebut. Bahkan petambak yang tergabung dalam P3UW sudah dua kali mengirim surat ke Presiden. Terakhir, 12 Februari lalu, perwakilan petambak kembali meminta pemerintah mengambil langkah setelah proses revitalisasi tambak terkatung-katung.

“Perwakilan petambak plasma udang windu di area pertambakan Aruna Wijaya Sakti (dulu Dipasena Citra Darmaja) masih sabar menunggu jawaban dari Presiden,” ujarnya.

Desak pemerintah

Sementara itu, Wakil Ketua P3UW PT AWS, Thowilun juga mendesak tanggung jawab pemerintah. Pasalnya, sewaktu PKS disusun, pemerintah berjanji mengawal revitalisasi tambak. Tanggung jawab itu timbul karena pemerintah memutuskan CP Prima sebagai pemenang penjualan saham dan aset Dipasena yang semula dikuasai pemerintah.

“Dalam surat ke Presiden SBY, prinsipnya petambak meminta Presiden tidak lepas tangan setelah menjual aset negara, sekaligus mendesak CP Prima menjalankan revitalisasi. Jika CP Prima tidak mampu, tender harus ditinjau ulang,” ujarnya.

Thowilun menilai CP Prima tidak mampu memenuhi janjinya merevitalisasi tambak eks Dipasena. Padahal, sebelumnya, CP Prima telah menyatakan komitmennya kepada pemerintah mengoperasikan tambak seluas 186.000 hektare (ha), setelah mengakuisisi tambak Dipasena tahun 2007. Namun, karena alasan krisis global, secara sepihak CP Prima menghentikan revitalisasi sejak Januari 2009. “Akibatnya, nasib banyak karyawan dan petambak terkatung-katung,” ujarnya.

Dia menjelaskan, sebelum penghentian revitalisasi, CP Prima juga baru merevitalisasi 3% dari total tambak yang berjumlah 16 blok. Dari jumlah tersebut, yang direvitalisasi baru 1,5 blok seluas 150 ha. Padahal, perjanjiannya akan merevitalisasi 16 blok dalam 18 bulan. “Revitalisasi dijadwalkan 18 bulan sejak perjanjian ditandatangani. Namun, hingga akhir Desember 2008, realisasinya hanya pada setengah blok tambak di Blok 3 Desa Dipasena Utama. Pada Januari 2009, secara sepihak perusahaan menghentikan revitalisasi dengan alasan krisis global,” paparnya.

Penghentian sepihak ini dinilai sangat memberatkan petambak plasma. Untuk mengurangi beban, sebagian petambak coba melanjutkan budidaya udang, tetapi hasilnya tak memuaskan. Bahkan, banyak petambak kini juga terbelit utang ke perusahaan, rata-rata Rp 40 juta/orang.

“Para petambak mendesak pemerintah mendorong AWS segera menyelesaikan revitalisasi sesuai dengan perjanjian. Jika perlu, kelayakan CP Prima sebagai pemenang tender penjualan saham dan aset Grup Dipasena dengan program pengamanan revitalisasi juga harus ditinjau ulang,” ujarnya.

Utang bertambah

Sementara itu, Nafian Faiz — seorang petambak plasma PT AWS — mengaku kini petambak sangat susah karena tidak bisa membudidayakan udang. Apalagi, perbaikan tambak mandek. Akibatnya, plasma yang menghuni blok 5, 8, 9 sampai 15 kini tidak ada kegiatan.

“Jadi, praktis kegiatan plasma kini tidak ada. Memang pihak inti memberikan biaya hidup Rp900.000/bulan. Tapi, kini usaha sampingan dilarang, seperti penjualan udang, memasukkan benur dan pakan karena memang sudah dilarang dan dijadikan kesepakatan antara inti dan plasma,” ujarnya

Menurut Nafian, pemberian biaya hidup Rp900.000/bulan juga dinilai sangat merugikan plasma dari segi bisnis. Pasalnya, utang plasma jadi bertambah kepada perusahaan inti. “Utang awal plasma saat manajemen baru mengambil alih DCD (Dipasena Citra Darmaja) Rp20 juta/plasma dan sekarang ditambah Rp900.000/bulan, plus listrik dan lain-lain. Sedangkan hingga kini banyak petambak belum bisa melakukan budidaya udang,” keluhnya. Umarwanto

CP Prima: Kami Belum Tahu Kapan Dilanjutkan Lagi

CP Prima menampik tudingan perwakilan para petambak terkait program revitalisasi perseroan. Bahkan, perseroan menegaskan program revitalisasi tambak PT AWS masih berjalan, meski dilakukan secara bertahap.

“Akibat krisis ekonomi global yang juga menerpa semua sektor, menyebabkan perusahaan harus menerapkan manajemen keuangan yang lebih hati-hati. Kebijakan tersebut menyebabkan revitalisasi terhambat,” kata Manajer Komunikasi PT CP Prima, Fajar Reksoprodjo kepada Agro Indonesia.

Menurut Fajar, kebijakan tersebut sangat wajar mengingat tidak hanya sektor perikanan saja yang menghadapi banyak kendala. Bahkan, dibanding sektor lain, bisnis udang relatif masih eksis. Apalagi program revitalisasi tambak seluas 16.250 ha sesungguhnya punya jadwal dan tidak mungkin selesai dalam 1 hingga 3 bulan. Dan itu bukan proyek kecil, sehingga membutuhkan tahapan-tahapan. “Sebagai bukti telah melakukan revitalisasi dengan baik, terutama tambak Wachjuni Mandira (WM) yang berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Desember 2007 kemarin,” jelasnya.

Hanya saja, dia mengakui, sejak krisis global CP Prima telah menekan belanja modal supaya kelangsungan perusahaan tetap berjalan. Terutama menekan pembelian plastik, kincir angin, serta sarana dan prasarana tambak yang lain. CP Prima juga menerapkan prinsip kehati-hatian sehingga sementara ini revitalisasi diperlambat.

“CP Prima sedang menjadwal ulang revitalisasi. Masyarakat perlu tahu, kami satu-satunya perusahaan yang melakukan revitalisasi pertambakan udang. Penghentian itu hanya sementara. Tapi, kami belum tahu kapan program itu dilanjutkan lagi,” kilahnya.

Fajar menjelaskan, revitalisasi tambak AWS tetap berjalan dan plasma tetap bisa melakukan budidaya — yang disebut budidaya antara — selama proses revitalisasi. Artinya, budidaya tidak sebesar saat normal karena hanya menunggu selesai revitalisasi. Berdasarkan Perjanjian Kerja Sama (PKS) CP Prima dengan petambak plasma, Desember 2007 disebutkan, perusahaan akan merevitalisasi sebanyak 16 blok tambak di delapan desa di lokasi PT Aruna Wijaya Sakti (AWS) seluas 16.250 ha.

“CP Prima tetap peduli dengan plasma. Terbukti, selama transisi proses revitalisasi, petambak plasma melakukan budidaya dengan mendapatkan biaya hidup dari perusahaan sebesar Rp 900.000/bulan,” ujarnya.

Selain bantahan dari pihak perusahaan, dari kalangan petambak yang tergabung dalam P3W sendiri tidak semuanya mengeluh dan resah. Zamroni contohnya. Ketua Bidang Ekonomi P3W AWS ini mengatakan, petambak harus mengerti tentang kesulitan perusahaan. Pasalnya, dengan berbagai masalah yang dihadapi CP Prima — terakhir akibat hantaman krisis global — perusahaan harus berhati-hati. Apalagi yang menyangkut revitalisasi memang tidak semudah apa yang dikatakan banyak orang.

“Revitalisasi tambak dengan luas yang dimiliki AWS membutuhkan banyak tenaga kerja. Dan kenyataannya, perusahaan kontraktor yang terpilih tidak mampu menyediakan tenaga kerja tersebut. Kondisi ini juga menjadi penghambat,” ujarnya.

Dia mengakui, walaupun revitalisasi terhambat, namun prospek udang masih sangat menggiurkan. Terbukti, perbankan siap mengucurkan dananya. Selain Bank Syariah Mandiri, belum lama ini para petambak plasma juga telah meneken MoU dengan BRI. Intinya, bank milik pemerintah tersebut siap mengucurkan pinjaman terhadap 5.000 plasma dengan pinjaman hingga Rp126,6 juta/plasma. “Kami berharap petambak tetap sabar. Apalagi perusahaan tidak mungkin melakukan revitalisasi secara serentak pada tambak seluas 16.250 ha,” ujarnya. Umarwanto