14 Oktober 2009

DILU RECCAP,SEKARANG NEPTUNE

Setelah Ingkar Janji Yang Kedua

Buyar sudah harapan Nafian Faiz. Semula, di benaknya sudah tergambar hasil melimpah dari tambak udang. Sedikitnya Rp 40an juta bisa diraup sekali panen. Tapi impian itu kini buyar. Kapala Kampung Dipasena Jaya, Tulang Bawang, Lampung, itu harus pasrah menerima kenyataan: kredit yang dijanjikan investor anyar tak juga mengucur.

Tahun lalu, Recapital Advisor selaku kreditur anyar Dipasena berkomitmen mencairkan pinjaman Rp 1,1 trilyun kepada petambak plasma. Setiap petambak akan mendapat kredit Rp 100 juta. Recapital berjanji mengucurkan kredit sebelum Lebaran 2006. ”Namun janji itu hanya pepesan kosong,” ungkap Faiz.

Faiz dan koncokonconya sempat ke Jakarta untuk menagih komitmen kucuran kredit tersebut, Desember lalu. Mereka menemui Menteri Keuangan dan Direktur Utama Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Mohammad Syahrial. Ketika itu, mereka mendapat kepastian bahwa kredit dari Recapital akan turun maksimal akhir Desember. Toh, janji itu meleset lagi.

Tak hanya Faiz yang dininabobokan oleh janjijanji sang dewa penolong. Sekitar 11.000 petambak udang di Tulang Bawang ikut jadi korban. Mereka adalah petambak plasma Dipasena Citra Darmaja. Para penghasil udang berkualitas nomor wahid sedunia itu pernah berjaya sebelum ditempas krisis moneter. Bersama perusahaan inti, dulu mereka memapu mengekspor udang senilai US$ 170 juta per tahun. Namun kini produksi udang mereka tak lebih dari US$ 40 juta per tahun.

Di saat paceklik itulah datang kabar menggembirakan. Setahun lalu, PPA berhasil melego Dipasena Citra. Recapital Advisor milik dua karib, Sandiaga Uno dan Rosan Perkasa Roeslani, dinyatakan sebagai pemenang kontes yang digelar PPA.

Dalam perjanjian pokok (master agreement), Recapital diwajibkan membayar dana talangan (bridging loan) untuk mengembalikan vitalitas Dipasena. Ketika itu, Recapital menyatakan siap menyalurkan dana Rp 1,1 trilyun untuk petambak plasma dan Rp 1,5 trilyun kepada Dipasena Citra Darmaja selaku inti. Mereka juga menyediakan dana talangan sebesar Rp 235,5 juta untuk operasional Dipasena.

Duit kepada perusahaan inti tak harus dialirkan sekaligus. Namun bisa bertahap setelah perjanjian revitalisasi diteken. Recapital diberi opsi memenuhinya dalam 15 bulan. Bila ini dilakukan, Recapital berhak atas 75% saham Dipasena Citra Darmaja. Tapi, bila dialirkan bertahap hingga 36 bulan, Recapital punya hak maksimal 51%.

Jika Recapital ingin membeli sisa saham milik pemerintah, harganya minimal US$ 53,5 juta. Kalau opsi itu tak diambil, aliran duit ke inti brstatus kredit. Sedangkan pinjaman ke plasma harus segera dialirkan begitu perjanjian revitalisasi diteken.

Nah, untuk memenuhi kewajibannya itu, Recapital menggandeng Renaissance Capital Asia, yang dipimpin Samin Tan. Hingga saat ini, konsorsium itu baru menyetor Rp 750 milyar ke Dipasena Citra. Masih ada sisa sebesar Rp 750 milyar yang harus dibayar ke perusahaan inti. Sementara kewajiban kepada petambak plasma sama sekali belum terpenuhi.

Akibat tertundanya kucuran kredit ke Dipasena, anggota dewan akhirnya memanggil Menteri Keuangan Sri Mulyani, Selasa pekan lalu. Dalam rapat kerja Komisi XI DPRRI dengan Menteri Keuangan itu, beberapa anggota dewan merasa geram dengan perilaku kreditur anyar yang mengulurulur waktu pencairan kredit.

Sri Mulyani mengaku sudah bersikap lunak terhadap investor anyar tersebut. Toh, kesabaran ada batasnya. Pemerintah lantas menetapkan bulan Maret sebagai batas terakhir bagi Recapital untuk mengucurkan dana talangan dan kredit kepada Dipasena serta petambak plasma. Setelah itu, pemerintah akan mengambil langkah tegas jika kewajiban revitalisasi tidak terpenuhi. ”Tidak adalagi rescheduling pendanaan,” Sri Mulyani menegaskan.

Menurut Sri Mulyani, pihaknya telah menyusun rencana darurat jika Recapital tidak mampu membayar kewajibannya. ”Yang penting, Dipasena tidak terganggung operasinya dan petani plasma tetap bisa berproduksi,” ujar Sri Mulyani. Ia bahkan sudah mengultimatum Recapital Advisor. Jika sampai Maret 2007 Recapital tak mengucurkan sisa dana revitalisasi, pemerintah akan membatalkan perjanjian.

Dirut PPA, M. Syahrial, menambahkan sejak 5 September hingga 29 Desember 2006 telah ditandatangani perjanjian baru antara PPA dan Recapital. Syahrial menegaskan, pembayaran Februari adalah penjadwalan terakhir. Bila tidak dibayar juga, Recapital tidak bisa melakukan eksekusi jaminan, dan dilakukan instant default. ”Recapital wanprestasi,” kata Syahrial.

Setelah itu, Dipasena akan direhabilitasi selama setahun. Selama waktu itu, Recapital tidak bisa memailitkan Dipasena, dan hak eksklusivitasnya akan dicabut. Lalu pemerintah akan mencari mitra baru, baik untuk inti maupun plasma.

Pihak Recapital Advisor juga sudah menyatakan kesanggupannya mengikuti kesepakatan untuk membayar kewajiban lanjutan sebesar Rp 750 milyar. Menurut Sandiaga Uno, Komisaris Recapital, pihaknya akan mematuhi pemerintah. Sandi menegaskan, Recapital bakal membayar seluruh kewajibannya, termasuk kewajiban kepada petambak plasma sebesar Rp 1,1 trilyun, paling lambat akhir Maret.

Namun Sandi, yang juga Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia ini, belum memastikan untuk memperbesar porsi kepemilikan hingga 75% saat seluruh komitmen Rp 2,6 trilyun disuntikkan, baik kepada inti maupun plasma. ”Kami akan lihat rencana bisnisnya. Kalau iklim investasinya bagu, kami akan tambah porsi saham,” ujarnya.

Meski pemerintah dan Recapital sudah mencapai kesepakatan kedua, tak urung muncul kritik dari beberapa kalangan. Pengamat Ichsanuddin Oorsy, misalnya, mengendus aroma kongkalikong antara pemerintah, manajemen Dipasena, dan ivestor baru. ”Recapital gagal memenuhi kewajiban, kok tidak mendapat sanksi, malah ada perubahan dari program revitalisasi menjadi program penjualan yang dikemas dalam perjanjian 30 Desember 2006,” ungkap Direktur Lembaga Studi Kebijakan Publik itu.

Menurut Ichsanuddin, perjanjian baru itu menggugurkan master agreement yang diteken pada 27 Oktober 2005. Namun kesepakatan anyar malah menimbulkan berbagai dampak negatif. Misalnya, dengan mekanisme default, Recapitla dipermudah untuk tidak memenuhi kewajiban sisa pembayaran pada periode Desember hingga Februari 2007. Hal itu terbukti dengan tidak menucurunya dana sebesar Rp 360 milyar pada 31 Januari lalu, seperti komitmen dalam perjanjian baru.

Begitu pula, metode penurunan dana dan konversi saham mengandung kelemahan. Sebab saham Dipasena dapat digenggam Recapital setelah 1 Maret 2007, tanpa harus melaksanakan program rekapitalisasi. Selain itu, komitmen pembiayaan bagi plasma hanyaa ditandatangani pihak manajemen dan kreditur tanpa melibatkan plasma. Belum lagi, pada saat saham inti berlahi ke Recapital, nota kesepahaman akan berubah menjadi perjanjian pemilik perusahaan dengan manajemen.

Dari proses yang terjadi itu, kata Ichsanuddin, terlihat bahwa Recapital bisa memiliki Dipasena tanpa harus mengguyurkan dana revitalisasi secara penuh. Alhasil, PPA dianggap Cuma mementingkan jualan aset dengan mengesampingkan kepentingan plasma. Akibatnya, Nafian Faiz dan 11.000 petambak lainnya menjadi korban janjijanji pepesan kosong. HERU PAMUJI

[ Majalah Gatra – 7 Maret 2007 ]

( Sumber Berita : )

JAWABAN DARI KERAGUAN

Petambak Desak Perusahaan untuk Merevitalisasi

Selasa, 13 Oktober 2009 | 03:45 WIB

Bandar Lampung, Kompas - Pascaunjuk rasa di kawasan pertambakan udang di Rawajitu, Tulang Bawang, Lampung, Minggu (11/10), petambak plasma udang PT Aruna Wijaya Sakti, anak perusahaan PT Central Proteinaprima, tetap mendesak dan mempertanyakan komitmen serta kemampuan perusahaan untuk merevitalisasi tambak.

Nafian Faiz, Ketua Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) PT Aruna Wijaya Sakti (PT AWS), Senin (12/10), mengatakan, pascaakuisisi aset Dipasena Citra Darmaja pada Mei 2007, perusahaan akan melakukan perbaikan pada sarana prasarana tambak agar petambak bisa segera membudidayakan udang.

Rencana awal revitalisasi kawasan yang terdiri atas 16 blok areal tambak akan selesai pada September 2009. Namun, sampai sekarang belum selesai.

Pada April 2009, perusahaan meminta pengunduran waktu pelaksanaan revitalisasi sehingga ada kesepakatan, revitalisasi selesai dikerjakan pada September 2011. Namun, 9 Oktober 2009 perusahaan kembali meminta bertemu dengan petambak untuk memundurkan revitalisasi selama satu tahun. Hal itulah yang memicu unjuk rasa hari Minggu.

Tawaran perusahaan agar petambak PT AWS yang belum tersentuh revitalisasi mengelola tambak perusahaan di lokasi lain ditolak para petambak.

Ada 700 petambak PT AWS yang sudah dipindahkan ke PT Wachyuni Mandira (PT WM), anak perusahaan CP Prima lain, dan membudidayakan udang di sana sejak awal tahun 2009.

Thowilun, Wakil Ketua P3UW PT AWS, mengatakan, lahan di PT WM sudah habis dipakai petambak plasma asli dan petambak dari PT AWS yang lebih dulu pindah. ”Hendak dikemanakan 5.000 petambak PT AWS yang ada sekarang? Sebaiknya PT AWS melakukan revitalisasi tambak sesuai rencana awal,” katanya.

Akibat krisis global

Menanggapi keluhan para petambak plasma PT AWS, Manajer Komunikasi PT CP Prima Fajar Reksoprodjo mengatakan, perusahaan sepenuhnya memerhatikan kepentingan petambak.

”Kami menjamin bahwa proyek revitalisasi akan dilanjutkan. Hanya saja, kami mohon permakluman dikarenakan krisis keuangan global, penyelesaian revitalisasi AWS terpaksa dijadwal ulang,” katanya.

CP Prima tetap mengacu pada perjanjian kerja sama yang ditandatangani perusahaan dengan petambak plasma. Perjanjian itu antara lain mengatur pinjaman, penentuan standar mutu, harga beli udang, dan proses transaksi.

Menurut Fajar, permintaan petambak untuk mengubah sistem transaksi budidaya antara lanjutan dengan sistem pemberian pinjaman untuk modal usaha dan pengembalian setelah panen sulit dipenuhi.

Dalam unjuk rasa Minggu kemarin, petambak meminta perusahaan mengubah sistem budidaya antara lanjutan karena dinilai menambah utang petambak kepada perusahaan.

Utang bulanan tambak yang diterima petambak plasma Rp 900.000 per bulan. Pinjaman itu bukan hanya untuk kebutuhan sehari-hari, melainkan juga untuk operasional budidaya, seperti pembelian benur, pakan, dan obat-obatan.

Pihak P3UW PT AWS mencatat, utang plasma terendah saat ini Rp 56 juta dan tertinggi Rp 94 juta per keluarga. (HLN/LKT/KOMPAS)

NASIB PLASMA BELUM MENENTU

Petambak Unjuk Rasa
CP Prima Ajukan Tawaran KSO

Senin, 12 Oktober 2009 | 03:51 WIB

Bandar Lampung, Kompas - Sekitar 5.000 pengelola plasma udang PT Aruna Wijaya Sakti berunjuk rasa di kawasan penambakan perusahaan di Rawajitu, Tulang Bawang, Lampung, Minggu (11/10). Mereka menolak pengunduran kembali program revitalisasi tambak bekas Dipasena Citra Darmaja tersebut.

Syukri J Bintoro, Wakil Sekretaris Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) PT Aruna Wijaya Sakti (AWS), yang dihubungi di Rawajitu, Minggu (11/10), mengatakan, aksi sekitar 5.000 pengelola plasma udang itu berlangsung damai.

Revitalisasi tambak yang dimaksud adalah tambak-tambak yang rusak diperbaiki/difungsikan lagi, antara lain menambal kebocoran tambak dan tanggul, mengganti kincir air, dan memperbaiki saluran pembuangan dan pemasukan air tambak.

Di Jakarta, Manajer Komunikasi PT Central Proteinaprima (CP Prima) Fajar Reksoprodjo, Minggu siang, menegaskan, CP Prima berkomitmen menyelesaikan proyek revitalisasi tambak udang AWS. Upaya memperkecil dampak penundaan revitalisasi bagi petambak plasma, di antaranya, menawarkan petambak plasma yang belum tersentuh revitalisasi tambak untuk mengelola tambak milik perusahaan lewat kerja sama operasi (KSO).

Para petambak plasma udang itu menolak rencana perusahaan untuk mengundurkan kembali pelaksanaan program revitalisasi. ”Sejak kawasan pertambangan milik Dipasena Grup diakuisisi CP Prima pada 2007, rencana revitalisasi tidak tuntas. Yang ada, pengunduran-pengunduran program,” ujar Syukri.

Data P3UW menunjukkan, sesuai kesepakatan, pasca-akuisisi Mei 2007, perusahaan memprogramkan revitalisasi seluruh tambak di kawasan 16.250 hektar itu selesai pada September 2009. Namun, revitalisasi berjalan sangat lambat. Sesuai kesepakatan baru, April 2009, perusahaan bersedia menyelesaikan revitalisasi pada Desember 2011. Namun, petambak menuntut dipercepat.

Wakil Ketua P3UW Thowilun mengatakan, sejak 2007-Oktober 2009, baru tambak di Blok 0, 1, 2, dan 3 yang direvitalisasi. Adapun pascakesepakatan April 2009, revitalisasi baru 70 persen terlaksana di Blok 7. Lambatnya revitalisasi mengakibatkan utang plasma dari biaya hidup bulanan Rp 900.000 per keluarga, dan utang budidaya membengkak Rp 56 juta-Rp 94 juta per keluarga.

Manajer Komunikasi CP Prima Fajar Reksoprodjo mengemukakan, pemunduran jadwal revitalisasi tambak udang plasma di AWS, anak perusahaan CP Prima, di luar kendali perusahaan. Program revitalisasi tambak merupakan proyek pengeluaran (belanja modal), sedangkan pendanaan perusahaan mengalami kendala karena dampak krisis keuangan global. Perusahaan harus berhemat dalam pengelolaan keuangan. ”Kami menawarkan petambak plasma yang belum tersentuh revitalisasi untuk mengelola tambak milik perusahaan lewat KSO,” kata Fajar.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Departemen Kelautan (DKP) Made L Nurdjana berjanji segera mencari tahu permasalahan yang dialami perusahaan. Namun, pihaknya tidak bisa sepenuhnya turut campur dalam menyelesaikan konflik antara kedua pihak. ”(Konflik) ini, masalah antara petambak dan perusahaan, DKP tidak bisa leluasa terlibat. Peran DKP adalah pengawalan revitalisasi secara teknis,” kata Made. (HLN/LKT/kompas)