18 September 2009

DIPASENA TEMPO DOELOE(II)

Ribuan Penambak Dipasena Mendatangi Kejagung

 Unjuk rasa penambak Dipasena di Kejagung.
09/05/2001 06:56
Liputan6.com, Jakarta: Ribuan penambak udang Dipasena Lampung berunjuk rasa di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (8/5) siang. Mereka menuntut Kejagung segera menyeret pemilik Dipasena, Sjamsul Nursalim, ke pengadilan. Pasalnya, Sjamsul dinilai kerap mengabaikan hak-hak penambak. Para penambak udang yang tergabung dalam Perhimpunan Petani Plasma Udang Windu (P3UW) PT Dipasena Citra Darmaja, Rawa Jitu, Lampung, datang dengan menggunakan 24 unit bus. Semula mereka memaksa masuk Gedung Kejagung untuk menemui Jaksa Agung Marzuki Darusman. Namun, setelah berunding dengan petugas keamanan, hanya sepuluh penambak yang diizinkan masuk. Perwakilan penambak ini diterima Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejagung Muljohardjo. Dalam tuntutannya, demonstran meminta pemerintah mengambil alih manajemen dan aset-aset PT Dipasena. Selain itu, penambak juga menuntut Dipasena menyerahkan sertifikat asli tambak kepada mereka. Sebab, selama ini para penambak hanya memiliki foto kopi sertifikat. Sementara itu, manajemen PT Gajah Tunggal yang menaungi PT Dipasena menganggap permintaan penambak P3UW berlebihan. Pasalnya, manajemen menilai para penambak yang tergabung dalam P3UW tak kooperatif dalam penyelesaian konflik di Dipasena. Sebelumnya, penambak Dipasena berungkali mengajukan tuntutan ke berbagai instansi hukum pemerintah di Jakarta. Pertama kali, para penambak Disapena berdemo ke Kantor Bea Cukai [baca: Petambak Lampung Mendemo Bea dan Cukai Jakarta]. Kemudian, ratusan penambak P3UW berunjuk rasa di Markas Besar Polri Jakarta dengan tuntutan yang sama [baca: Ratusan Petambak Dipasena Mendemo Polri]. Permasalahan yang tak kunjung selesai para penambak ini kembali berdemo ke DPR [baca: Petambak Dipasena Kembali Ke DPR]. Sebelumnya, ratusan penambak Dipasena ini juga meminta bantuan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) [baca: Tanah Dikuasai Sjamsul, Petani Dipasena ke Jakarta].(ORS/Roy Akhmad dan Agung Nugroho)

JALAN BERLIKU REVITALISASI

PLASMA MINTA PRESIDEN KAJI ULANG PROSES REVITALISASI Kompas (02/08/2007, 09:40:11)
Bandar Lampung, Kompas - Petambak udang plasma PT Aruna Wijaya Sakti (dulu plasma Dipasena) mengadu kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai kegagalan negosiasi antara plasma, Konsorsium Neptune, dan Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang. Pengaduan itu disampaikan melalui surat, yang juga meminta Presiden untuk mengkaji ulang seluruh proses revitalisasi aset Dipasena. Demikian keterangan tertulis yang disampaikan delapan Kepala Kampung, delapan Ketua Lembaga Manajemen Plasma Kampung (LMPK), delapan Badan Perwakilan Kampung, dan Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) Dipasena kepada Kompas, Senin (30/7). Juru bicara petambak plasma sekaligus Ketua LMPK Bumi Dipasena Utama Thowilun mengatakan, laporan kepada Presiden itu disampaikan melalui surat tertanggal 24 Juli 2007. Melalui surat itu, plasma melaporkan kepada Presiden bahwa pertemuan antara plasma, inti, dan Pemkab Tulang Bawang pada 19 Juli tidak membuahkan hasil apa pun. Dalam pertemuan tersebut, Konsorsium Neptune tetap bersikeras menerapkan Perjanjian Kerja Sama (PKS) Neptune dan menolak menggunakan PKS 2006 atau PKS pemerintah. Sebaliknya, plasma hanya akan patuh dan mau menggunakan PKS 2006 sebagai dasar kerja sama kemitraan inti-plasma. Kepala Kampung Dipasena Abadi Juanda KR mengatakan, penolakan plasma cukup beralasan mengingat PKS Konsorsium Neptune sama dengan pola kemitraan masa lalu Dipasena. Pola itu tak dapat diterima plasma, karena apabila dipaksakan akan menimbulkan konflik horizontal seperti yang terjadi tahun 2000. Menurut Juanda, polemik PKS seharusnya tidak terjadi kalau sejak awal PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA) konsisten terhadap tujuan awal program revitalisasi yang dicanangkan pemerintah dan DPR. "Sayangnya, pola kemitraan inti-plasma yang telah disusun jajaran pemerintah dan plasma yang terangkum dalam PKS Pemerintah 2006 tidak secara tegas disyaratkan oleh PT PPA dalam proses penentuan investor bagi Dipasena. Untuk itu, Presiden harus mengkaji ulang seluruh proses dan langkah revitalisasi yang sudah dilakukan oleh PT PPA," ungkap Juanda. Dari Denpasar, Bali, Ketua Umum Shrimp Club Indonesia Iwan Sutanto menyatakan, konsorsium Neptune selaku inti di tambak udang Dipasena (Aruna Wijaya Sakti) sebaiknya menyusun PKS bersama petambak. Penyusunan PKS baru tersebut diharapkan memecah kebuntuan revitalisasi tambak Dipasena akibat ketidaksepakatan mengenai PKS yang akan digunakan. Iwan mengharapkan revitalisasi tambak udang segera berjalan sebab bisnis udang Dipasena menghidupi ratusan ribu jiwa masyarakat Tulang Bawang, Lampung. (ryo/hln)

16 September 2009

TULISAN SEORANG WARTAWAN

jumat 11 mei 2007

Pertarungan Kepentingan di Bumi Dipasena

TULANGBAWANG – Inilah proyek besar Sjamsul Nursalim. Menjadikan Lampung tanah kelahirannya, lokasi pertambakan udang terbesar di dunia. Luas lahan konsesi yang dikuasai dari Lampung Utara (PT Dipasena Citra Darmaja/ DCD) hingga bagian tenggara Sumatera Selatan (PT Wachyuni Mandira/WM) keseluruhan mencapai 186.250 hektare.

Pada masa jayanya di tahun 1996, DCD menyumbang devisa US$ 167 juta dari ekspor udang windu. Bahkan ketika mulai krisis tahun 1997, ekspornya masih menghasilkan US$ 131 juta. Namun malang tak dapat ditolak, krisis moneter menerjang cita-citanya. Kurs rupiah terpuruk, utang yang dalam dolar pun menumpuk. Tapi apakah adil menyalahkan krisis semata? Mengapa WM yang dikelola manajemen dan dengan cara yang sama bisa tetap jalan, sementara DCD terus bergolak? Apa yang salah?

Lahan kedua perusahaan ini hanya dibelah oleh aliran Sungai Mesuji. Namun secara administratif keduanya terpisahkan oleh provinsi yang berbeda. WM berada di Provinsi Sumatera Selatan, sementara DCD di Provinsi Lampung.

Tahun 1998 WM pun sempat mengalami kerusuhan. Ini diawali sekitar 2.000 petambak plasma menuduh manajemen tidak terbuka dan menuntut berbagai hal. Maklum era reformasi, tuntutan keterbukaan dan transparansi pun sampai ke pertambakan.

Ujung-ujungnya, petambak di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) ini naik darah, mengepung kantor manajemen, menjarah sebelum membakar aset-aset perusahaan. Anehnya, di antara petambak sibuk mencari pimpinan yang acap berdialog dengan mereka di lapangan. ”Ini ada pengaruh orang luar, sebab mereka tidak kenal pimpinannya. Kalau petambak betulan, mereka kenal karena sebelum kejadian rutin ada pertemuan dengan Badan Musyawarah Plasma Sementara (BMPS),” tutur Senior Manager WM, Josef Francisico MB yang sebelumnya menangani DCD juga.

Namun reaksi aparat dan pemerintah daerah Sumatera Selatan cepat. Kurang dari tiga hari pasukan dari Marinir diterjunkan mendukung polisi dan aparat Kodim yang melokalisir lokasi. Hukum ditegakkan, para perusuh ditangkap dan diproses secara hukum sehingga masalahnya segera selesai.

Bahkan sekarang hidup DCD bertahan karena pengolahan udang yang dihasilkan WM yang rata-rata 20 ton per hari dari 7.451 tambak. Lahan yang dicadangkan untuk WM berkembang hingga 170.000 Ha, kini baru 42.000 lahan bersih tambak ”Awal tahun 2002 akan mulai pembangunan cold storage plan III kemudian dermaga ekspor. Sebab kalau dibawa ke DCD kendalanya pengangkutan yang tiga kali biayanya melalui air dan terlebih masalah kualitas,” terang General Manager WM, Anta Winarta ketika SH menemui di kantornya.

Masalah Perut Di DCD, bara konflik mulai timbul tahun 1996-1997 yang dipicu oleh masalah perut. Meski nyaris semua kebutuhan sembilan kebutuhan bahan pokok (sembako) petambak plasma dipenuhi, tak ayal krisis dirasakan karena mahalnya barang-barang. Ini memicu petambak mempermasalahkan Biaya Hidup Bulanan Petambak (BHBP).

”Dapat BHBP dan sembako, kalau dilihat dari situ, kami cukup sejahtera dibanding orang luar waktu itu. Tapi kehidupan ke depan mau bagaimana? Karena kenyataan lebih dari 10 tahun kami tidak punya apa-apa. Tidak mungkin hanya Rp 150.000 per bulan, sementara biaya hidup terus bertambah. Ini pun tidak pernah berubah sejak tahun 1992,” keluh Sekretaris Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW), Nafian Faiz.

Sementara manajemen merasa harusnya BHBP itu mencukupi mengingat sembako sudah diberikan, termasuk beras hingga susu. Ikan Nila dari kanal bisa sebagai lauk, lahan di pinggir tambak bisa untuk bercocok tanam.

Sehingga ketika itu konflik diredam dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) pemimpin cikal bakal P3UW, meski BHPB berhasil naik dua kali lipat. Bagai menyimpan bara dalam sekam, konflik kembali muncul tahun 1998. Kembali perut yang dijadikan alasan hingga disepakati naik dari Rp 300.000 menjadi Rp 500.000 per Kepala Keluarga (KK). Ditambah masalah harga udang yang semula ditetapkan sepihak, kini petambak ikut menetapkan diwakili P3UW yang berdiri resmi 30 September 1998. Tahun 1999 konflik kian membara dipicu oleh PHK Ketua P3UW, Sari, bersama sekitar 300 pengurus lainnya. Rentetan masalah pun bermunculan, mulai dari masalah kemitraan yang dirasa tidak adil hingga utang petambak.

”Harusnya kemitraan tidak ada PHK. Kewajiban kami seperti buruh, tapi hak-hak seperti mitra. Tapi hak-hak ini pun tidak gratis,” ujar Nafian. Padahal manajamen mengatakan telah menyediakan segala keperluan dan peralatan hidup petambak dari rumah hingga segala isinya. Ibaratnya cobek pun disediakan. Termasuk pelayanan kesehatan dan pendidikan, kendati itu nantinya diperhitungan ke dalam rekening petambak. Masalah terus bergulir bagai bola salju yang terus membesarkan kecurigaan kedua belah pihak. Urusan kredit investasi dan kredit modal kerja yang sebagian dolar menggelembung ketika dirupiahkan sangat dipertanyakan.

Lantas pernah diupayakan membentuk Tim Independen yang terdiri dari beberapa akademisi dikoordinir Nanang Trenggono dari Universitas Lampung (Unila). Saat itu sudah berhasil mendudukkan manajemen dengan P3UW bersama penasihat hukum dari LBH Bandar Lampung. ”Ketika ketemu pemda jadi kacau. Sehingga tim menjadi vakum,” ungkap Penasihat Hukum P3UW dari LBH Bandar Lampung, Watoni Noerdin, ketika ditemui dikantornya.

Maka konflik pun memuncak menjadi kerusuhan pada tanggal 1 Maret 2000 ketika Sjamsul Nursalim hendak berdialog dengan para petambak. Kepanikan di tengah massa yang merangsek memicu anggota Brimob mengeluarkan tembakan mengenai seorang petambak. Segera menyulut kemarahan massa yang berakibat dua anggota Brimob tewas disertai kerusuhan mencekam. ”Pasca kejadian ini, LBH mendorong pemda untuk mengutamakan masalah Dipasena karena menyangkut hajat hidup orang banyak dan sangat berpengaruh terhadap eskalasi stabilitas di Lampung, tapi tidak ada tanggapan,” ujar Watoni Noerdin.

Efek Karambol Seperti efek karambol, maka perselisihan yang bermula Inti-Plasma berrentet ke mana-mana. Dipicu pendekatan penyelesaian masalah yang berbeda hingga kecurigaan menjadi kolaborator Inti, P3UW berselisih dengan petambak plasma yang lain, seperti Tim Pelaksana Perjuangan Petani Tambak (TP3T), Plasma Peduli dan Serikat Petambak dan Nelayan (SPN). Hingga puncaknya terjadi pengusiran dan pembakaran rumah sekitar 200 petambak yang bukan anggota P3UW di bulan November 2000. Namun P3UW mengaku bukan mereka yang melakukannya.

”Tidak ada kebijakan organisasi untuk melakukan pengusiran. Prinsip perjuangan kami berbeda dengan mereka, sehingga kami tidak mau melibatkan mereka. P3UW tahan susah dan dalam hal prinsip kami tidak mau kompromi,” jawab Nafian Faiz.

Bukan hanya sesama petambak plasma yang menerbitkan kecurigaan bagi P3UW. Karyawan pun khususnya yang tinggal di areal tambak seperti di Blok IV turut menjadi sasaran pengusiran. Dengan jumlah massa ribuan, isu yang berbau manajemen dianggap tidak populer di mata anggota. Sehingga tak mudah menyamakan persepsi di antara sekian banyak massa. Hal itu diakui Watoni Noerdin. Katanya, ”Di sana banyak pihak, bisa bias. Di sana variasi manusianya beragam dan mungkin banyak kepentingan yang membuat bias.”

Bom Waktu Sebagai ajang perebutan politik, DCD merupakan lahan empuk yang memenuhi dua persyaratan. Dari segi ekonomi maupun dari segi massa yang lebih dari 7.000 petambak plasma itu. Apalagi udang windu jenis black tiger yang dibudidayakan termasuk komoditi ekspor unggulan. Lahan yang dikuasai dengan infrastruktur terpadu mulai dari power plan (sumber daya listrik) 160 Mega Watt, pabrik pakan 15.000 ton, lebih dari 25.600 tambak pembesaran udang, cold storage 2.340 ton sampai pengapalan (Enterpot Produksi untuk tujuan Ekspor). Kurang apalagi? Tidak heran bila mulai dari Keluarga Cendana sampai kelompok konglomerat saingan Sjamsul Nursalim disebut-sebut berkepentingan merebut lahan itu. Itu pun masih ditambah pihak yang berkepentingan atas nama keamanan untuk melanggengkan ‘periuk nasinya’ di sana. Sebab kalau masalah Dipasena selesai atau tenang dan damai, tentu keberadaan aparat keamanan tak dibutuhkan lagi. Maka ada yang berkepentingan agar Bumi Dipasena terus bergolak guna mempertahankan keberadaan mereka di sana.

Karenanya Watoni Noerdin mengatakan, ”Kami khawatir, P3UW menjadi komoditas politik. Sebab dari sektor ekonomi pendapatan dari udang, besar. Dari sektor massa pun, besar dengan lebih dari 7.000 anggota.”

Kepada SH, Sekretaris P3UW Nafian Faiz mengaku memang pernah ada ormas dan partai politik tertentu yang menawarkan bantuan. Namun janji bantuan tidak pernah ada yang beres, sehingga P3UW kecewa. ”Kami belum merasakan pihak-pihak itu membantu. Jadi kami tidak mengharapkan orang luar,” tegas Nafian.

Namun dari sini jelas terlihat, Dipasena sasaran empuk. Ini bagai bom waktu yang siap meledak, kalau tidak segera ditangani secara nasional. Waktunya tak lama lagi, sebab 2002 sudah diambang pintu. Lebih-lebih mendekati ajang politik Pemilihan Umum Tahun 2004. Sudah barang tentu, para kontestan bersiap-siap dari sekarang mengincar.

Terlepas dari perselisihan penyerahan aset dari Sjamsul Nursalim kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yang jelas ini adalah aset negara yang harus diselamatkan karena puluhan ribu orang bergantung kepadanya. Sebab masalah penyerahan aset, termasuk Grup Dipasena di dalamnya sudah mirip ayam dan telur. Tentu kita tidak bisa terus berputar-putar, bukan saatnya mencari-cari kesalahan lagi. Sebelum lebih hancur, pemerintah, silakan beradu cepat dengan para pembawa kepentingan ini! (bersambung)

Sinar Harapan edisi Selasa, 6 November 2001

DIPASENA TEMPO DOELOE

TULANGBAWANG – Kulkas, televisi, Video Compact Disc (VCD) Player nyaris menjadi pemandangan sehari-hari yang akan diangkut kapal cepat (speed boat) ke pemukiman para petambak Bumi Dipasena. Tentu ini membuat hati bertanya-tanya setelah sepanjang puluhan kilometer perjalanan tergoncang-goncang di jalan penuh lubang dan tak rata.

Tanggul Penangkis nama tempat itu. Di sini bersandar beberapa kapal cepat (speed boat) yang menjadi taksi air. Inilah satu-satunya alat angkut ke pemukiman petambak, karena rumah-rumah mereka berada di pinggir tambak dengan jalur-jalur kanal (semacam sungai) buatan.

Adalah Kanal Umum di mulut Tanggul Penangkis itu yang menghubungkan aliran Sungai Mesuji di perbatasan Sumatera Selatan dengan Sungai Tulangbawang. Dari Kanal Umum ini terbentang belasan ribu petak-petak tambak pada 16 blok.

Setidaknya ada 16 kanal yang memisahkan blok-blok areal tambak itu. Masing-masing blok terkecil (Blok Nol atau Blok Kosong) 194 lot, 400 lot, 500 lot, 600 lot, hingga terbesar 700 lot. Tiap blok masih ada kanal-kanal kecil yang dinamakan jalur yang memisahkan satu jalur tambak dengan jalur lain dalam satu blok.

Pada jalur inilah berjajar rumah para petambak. Di salah satu rumah panggung itu diperdengarkan VCD lagu-lagu rohani. ”Ini hasil tebar mandiri,” ujar Tri Winarno salah satu petambak plasma PT Dipasena Citra Darmaja (DCD) ketika SH memasuki rumah panggungnya. Ia mengaku dari hasil tebar mandiri yang sekarang dilakukan olah para petambak plasma, ia dapat membeli VCD beserta televisi ukuran 24 inci. Belum lagi sepeda motor yang diojekkan, kulkas dan berbagai barang yang tergolong mewah itu.

Demikian pula, ketika SH mendatangi kediaman Ketua Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) yang baru, Abdul Syukur. Televisi berwarna dan VCD Player seakan menjadi perangkat standar pada rumah-rumah panggung itu. Ini adalah potret sekian petambak yang berhasil membudidayakan udang secara mandiri sesuai dengan keputusan Gubernur Lampung per tanggal 8 November 2000. Di antara mereka ada sekitar 7.000 petambak plasma anggota P3UW, tentu tak semuanya berhasil. Namun paling tidak, ada gambaran umum peningkatan kesejahteraan yang mereka rasakan. ”Tentu mereka bisa membeli barang-barang itu karena mereka tidak lagi membayar cicilan utang dan bunganya,” lontar seorang petambak yang minta identitasnya tidak disebutkan.

Lembaga Ekonomi ”Kami merasakan nikmatinya tebar mandiri. Dengan tebar mandiri ini kami mengelola ekonomi kerakyatan. Sekarang bagaimana memanfaatkan suasana seperti ini sebesar-besarnya untuk kepentingan anggota. Maka sebelum ada keputusan, kami akan memanfaatkan tebar mandiri,” ujar Nafian Faiz, yang terpilih kembali menjadi Sekretaris Badan Pengurus Pusat (BPP) P3UW 10 Oktober lalu.

Ia menjelaskan, saat ini organisasi yang membawahi 8 infra (setiap dua blok memiliki satu infra yang sekaligus menjadi wilayah administratif desa) ini telah memiliki Lembaga Ekonomi (LE) P3UW.

Kantor LE-P3UW yang terletak di Tanggul Penangkis itu kini menjual benur, pakan dan obat-obatan untuk memasok tebar mandiri. ”Lembaga ekonomi ini nantinya merupakan koperasi plasma, sekarang dalam persiapan tahap akhir ke arah sana. Lembaga Ekonomi ini diharapkan menjadi tulang punggung perekonomian plasma,” tutur Nafian yang ditemui di Sekretariat P3UW di Blok VI Bumi Dipasena itu.

Padahal ide kemitraan inti-plasma pun semula diharapkan untuk menumbuhkan perekonomian rakyat ini. Sebab dengan kemitraan, plasma nantinya akan menjadi pemilik tambak yang dikelolanya setelah kredit investasi dan kredit modal kerjanya lunas, bukan orang upahan yang bergantung pada alat produksi sang majikan. Sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 334 tahun 1986 dan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 509 tahun 1995. ”Tapi riil di lapangan, yang namanya kemitraan tidak pernah membuat kami sejahtera. Itu yang membuat kawan-kawan berpikir bagaimana caranya untuk meningkatkan derajat hidup. Tapi tidak tertutup kemungkinan kemitraan itu ditata ulang,” tukas Nafian.

Terlepas dari niat baik kemitraan itu, yang terang saat ini di lapangan sudah terjadi proses pendidikan kemandirian ekonomi rakyat. Nafian sepakat menjalankan perekonomian inilah yang diutamakan. ”Bisa kita bicarakan. Asal perusahaan jangan bicara soal birokrasi dulu. Tapi apa yang ke depan bisa kita harapkan. Karena ada trauma masa lalu, kami pernah disakiti, di-PHK (pemutusan hubungan kerja) dan sebagainya,” tandas petambak plasma yang terkenal vokal ini. Pihak manajemen pun sepakat dengan menjalankan perekonomian dulu dan menyingkarkan masalah pokoknya dulu. Mereka mengaku tidak hanya setuju dengan tebar mandiri, tapi juga bersedia menyediakan pakan dan benurnya.

”Pakan dan benur kami sediakan secara cash atau kredit lewat koperasi, asal udangnya dijual ke perusahaan. Perusahaan akan membelinya dengan harga pasar. Tapi ini tidak jalan,” jelas Pimpinan Kantor Lokasi CDC, Ferry L. Hollen yang menerima SH di kantor pusat DCD di Jakarta. Menurut penelusuran Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, ternyata memang ada pembatasan mutu yang dipersyaratkan manajemen. Ini bisa dimaklumi karena udang black tiger itu merupakan komoditi ekspor yang perlu memenuhi persyaratan ukuran (size) tertentu. ”Pembatasan-pembatasan ini bisa memecah belah P3UW, sehingga tidak diterima. Sehingga penjualan kepada Inti hanya berlangsung sebentar. (Petambak) Plasma langsung menjualnya ke pasar bebas karena dianggap menguntungkan, semua ukuran diterima,” terang Kepala Operasional LBH Bandar Lampung, Watoni Noerdin yang juga menjadi Tim Penasihat Hukum P3UW.

Pendangkalan Kalau mau jujur sebenarnya tebar mandiri baru menyelamatkan ‘masalah perut’ sebagian dari petambak plasma, namun tak sepenuhnya menyelesaikan masalah DCD. Tebar mandiri bisa dibilang sekedar menunda masalah. Tebar mandiri baru sekedar memanfaatkan petak-petak tambak, namun tidak menggerakkan roda perusahaan. Sebab dalam struktur DCD ada enam anak perusahaan, yaitu dua pembibitan benur yang dilakukan PT Biru Laut Khatulistiwa dan PT Triwindu Grahamanunggal, dua tambak pembesaran oleh DCD dan PT Wachyuni Mandira, pabrik pakan PT Bestari Indoprima dan pengapalan PT Mesuji Pratama Lines. Kesemuanya menurut Perjanjian Pengembalian dana BLBI dengan jaminan aset (Master of Settlement and Acquisition Agreement/MSAA) ”Biaya operasinya sangat besar. Untuk listrik di jalur (tambak) saja 76 persen. Maka secara cashflow (arus kas) terlalu berat,” kata Ferry lagi.

Masalahnya bukan sekedar itu saja, tapi lebih pada efek bergandanya. Setiap satu komponen perusahaan macet, berarti ada sekian ratus bahkan ribu tenaga kerja yang menganggur, tidak ada pendapatan dari perusahaan, tidak ada pajak untuk pemerintah, tidak ada pembelanjaan untuk pasar sekitarnya, dan seterusnya. Ujung-ujungnya merugikan perekonomian secara keseluruhan. Lebih dari itu, macetnya perusahaan ini juga mengakibatkan tidak terawatnya kanal-kanal. Ilalang setinggi manusia, limpahan lumpur muara Sungai Mesuji maupun Sungai Tulang Bawang dan sebagainya.

”Dengan tidak terawatnya saluran pemasukan dan pengeluaran akan sangat mempengaruhi terjadinya pendangkalan dan kami khawatir air yang masuk tidak layak untuk sebuah tambak. Posisinya sekarang, areal tambak ini lebih tinggi dari air laut, sehingga sirkulasi air tidak memadai. Ini akan sangat mempengaruhi kualitas udang yang dihasilkan,” papar Watoni, yang sebagai penasihat hukum turut mengikuti perkembangan kliennya di lapangan. Hal yang senada diutarakan P. Hutagalung, Koordinator Plasma Peduli yang terusir dari Blok VIII karena tidak sealur perjuangan dengan P3UW. Ia berpendapat, pemeliharaan kanal merupakan hal yang tidak bisa ditawar, karena budidaya udang membutuhkan tingkat keasaman (ph balance) tertentu.

Ia mengaku tidak lagi melihat mesin pengeruk yang biasa digunakan untuk mengatasi pendangkalan kanal. Ia juga tidak melihat pemeliharaan pemasukan air tawar dari Sungai Mesuji dan keluar-masuk air laut yang dikontrol secara otomatis. Artinya, dengan tebar mandiri baru sebagian petambak plasma yang terselamatkan untuk sementara ini. Masih jauh panggang dari api untuk menyelesaikan masalah Dipasena yang sudah bertumpuk-tumpuk dari tahun 1998 itu. Tebar mandiri belum memberi solusi bagi sekitar 11.000 karyawan, petambak lain yang tidak sealur dengan P3UW, dan bergeraknya roda perusahaan. Terlepas dari perselisihan masalah penyelesaian kewajiban bos kelompok Gajah Tunggal, Syamsul Nursalim, Dipasena secara hukum berada dalam kekuasaan pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BBPN). Diharapkan BPPN-lah yang kembali mengurai benang kusut persoalan Dipasena ini.

Kepada SH, Ketua BPPN I Putu Gede Ary Suta mengatakan, ”Pemerintah juga tidak ingin proses produksi terhenti. Buat apa kita melihat pabrik gagal produksi semua? Kita harus menghidupkan pabrik-pabrik, karena penggangguran sudah semakin meningkat, recovery rate juga rendah. Apa mau jadi besi tua? Kan tidak.”

Maka Putu mengajukan konsep langkah-langkah yang mempercepat restrukturisasi. Karena banyak proyek-proyek di BPPN yang banyak menyerap tenaga kerja, yang investasinya sudah dilakukan, dan hanya tinggal di-restructure sudah bisa berjalan lagi. ”Nah sekarang ini kita harus mengambil langkah-langkah dengan dukungan dari pemerintah dan pimpinan kita untuk kurang lebih memberikan payung dalam pelaksanaannya. Kita membutuhkan suatu payung yang bisa memayungi, melindungi langkah-langkah yang akan diambil. Sehingga hambatan-hambatan atau hal-hal yang memperlambat restrukturisasi bisa diatasi,” tutur Putu. Mudah-mudahan upaya ini bukan sekedar menegakkan benang basah. Semoga! (bersambung)

Senin, 5 November 2001 Copyright © Sinar Harapan 2001