09 Mei 2010

MERABA DENYUT JANTUNG RAWAJITU

Dipublikasikan pada Mei 2010 di Majalah Investor (disalin sesuai dengan aslinya) Sebuah kawasan tambak yang pernah disebut-sebut terbesar di Asia kini hampir bisa dikatakan terlantar. Revitalisasi seperti menjadi nafas penyambung hidup para petambak. Menembus jalur kelapa sawit dan jalan rusak sekitar 45 km sejak Simpang Penawar terasa begitu membosankan. Belum lagi perut yang belum lama terisi makanan harus terkocok hebat ... Lihat Selengkapnyakarena suspensi ‘pas-pasan’ mobil yang membawa kami, tak mampu meredam kejut dari setiap cekungan jalan. Desa Rawajitu makin terasa jauh saja. Semangat kembali tumbuh begitu kendaraan kami menapaki sebuah tanjakan panjang, seperti menggapai setiap menara telekomunikasi yang berjejer berjauhan. “Setelah tanjakan di depan, kita bisa lihat Rawajitu, jejeran tambak dan laut,” hibur Subardan, petambak yang memandu kami dari kota Bandar Jaya. Padahal setelah tanjakan itu kita tak benar-benar bisa melihat tambak, apalagi laut. Ah, Subardan. Namun dari situ denyut kehidupan masyarakat kembali terasa menguat. Sejumlah bangunan sarang walet terlihat makin merapat seperti jejeran gedung tinggi di tengah perkebunan. Warung-warung kecil pun seperti bermunculan silih berganti di setiap penghujung kelokan. Ya, Rawajitu, sebuah kecamatan di Kabupaten Tulang Bawang, Lampung. Sebagian besar masyarakatnya menggantungkan hidupnya dari bertambak udang. Dan di desa Rawajitu yang terbagi dua menjadi Rawajitu Selatan dan Rawajitu Utara inilah, terletak ribuan hektare tambak eks Dipasena yang kini dimiliki oleh konsorsium Neptune, yang dikomandani PT Centra ProteinaPrima Tbk (CPP). Denyut Rawajitu memang banyak digerakkan oleh industri tambak udang. Jika memandang Rawajitu dari ketinggian, maka kawasan tersebut tampak berdampingan dengan puluhan ribu petak tambak yang dari atas terlihat seperti sebuah panel solar cell. Memanjang dari pesisir utara Lampung hingga menembus pesisir provinsi Palembang. Dari kawasan ini, Lampung pernah dikenal memiliki kawasan tambak udang terbesar dan termodern di Asia. Kini nama besar Dipasena tampaknya hanyalah sebuah cerita lama. Ratusan lot tambak tampak kerontang. Belum lagi di sejumlah blok yang terlihat bukan lagi sebuah tambak, tapi sebuah lapang berisi semak, diwarnai oleh pohonan bakau di sisi-sisi kanalnya. Buat para petambak yang tergabung dalam Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW), krisis benar-benar telah meluluh-lantakkan sebagian besar harapan mereka. Masuknya pemilik baru setelah kelompok Gajah Tunggal yang harus hengkang pascakrisis moneter 1998 juga ternyata tak merubah keadaan sebagian besar dari mereka. “Revitalisasi tambak yang seharusnya sudah rampung dilakukan di seluruh 16 blok pada bulan ke-18 setelah akuisisi ternyata tak terlaksana. Saat ini baru 5 blok yang direvitalisasi, itu pun tak semuanya menjalani siklus (penebaran hingga panen) yang sama,” ujar Nafian Faiz, ketua P3UW. Alhasil, buat mereka yang belum tersentuh revitalisasi, tak ada yang bisa mereka lakukan kecuali mencoba peruntungan lain untuk menambah uang agar dapur tetap ngebul. Sejumlah petambak, kata Nafian, ada yang harus beralih profesi menjadi tukang ojek, penjala ikan atau nelayan tangkap. Tambak pun mereka tinggalkan tak terurus. Memang untuk bertahan hidup, para petambak masih bisa menerima Rp 900 ribu tiap bulannya, yang merupakan hutang bulanan petambak (HBP). Dana HBP ini merupakan bagian dari kredit investasi dari bank, yang diterima petambak. Artinya, petambak terus menerima gelontoran dana hidup dari utang yang harus mereka bayar sendiri nantinya. Sebelumnya, perusahaan inti yang dimiliki oleh CPP, yakni PT Arjuna Wijaya Sakti (AWS) menawarkan kerja sama dengan para petambak, untuk melaksanakan Budi Daya Antara (BDA). Tak ada yang berbeda dengan budi daya sebelumnya, hanya saja kuantitas benur atau benih yang ditebar tidak sebanyak saat budi daya intensif, atau revitalisasi penuh. Jika saat budi daya intensif benur yang ditebar bisa mencapai 200 ribu – 400 ribu per tambak, maka saat budi daya antara tiap tambak hanya menerima 20 ribu benur saja. BDA diharapkan bisa mengisi waktu para petambak di sejumlah blok yang belum tersentuh revitalisasi. Tetapi pelaksanaan BDA ini tak banyak memberikan kemajuan buat penghidupan para petambak. Menurut Nafian, dengan dana bulanan yang sebesar Rp 900 ribu, petambak masih harus membeli benur dan pakan dari perusahaan inti. Belum lagi, jika nanti petambak mengalami kerugian saat panen, maka kerugian tersebut akan memotong HBP yang akan mereka terima hingga lunas. Dan dalam proses verifikasi kerugian, petambak juga tidak diperkenankan menebar benih, hingga persoalan tentang penyebab kerugian jelas di mata perusahaan inti. “Budi Daya Antara itu tidak menjajikan, apalagi biaya operasi masih menggunakan biaya hidup HBP yang diberikan perusahaan,” kata Nafian. Maka, sambung Nafian, banyak petambak yang memilih tetap menerima HBP namun tidak mereka gunakan untuk bertambak. Mereka memilih menelantarkan tambak hingga revitalisasi penuh dilaksanakan oleh perusahaan inti, dan mencari mata pencaharian di luar tambak. Nah, belum lagi budi daya antara dilakukan sepenuhnya oleh seluruh petambak non revitalisasi, pada akhir Maret 2010 lalu perusahaan ini telah membuat kesepakatan baru dengan petambak, untuk melaksanakan Budi Daya Campur atau poly culture. Dalam budidaya sistem yang baru ini, dalam satu lot tambak (satu lot terdiri atas dua tambak, red) akan diisi oleh benur udang dan bibit ikan Nila secara bersamaan. Kabarnya, selain hasilnya juga akan dijual dan diekspor, ikan Nila bisa berfungsi sebagai pembersih air tambak. “Ia akan mengkonsumsi sejumlah organic yang tak mengendap ke dasar kolam,” kata Made L Nurjana, Dirjen Perikanan Budidaya DKP usai rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI pertengahan April lalu. Nila juga ditujukan sebagai medium untuk virus, sehingga virus tidak akan menempel pada udang. Jadi, Nila akan menjadi perisai bagi udang, dan pada ujungnya kematian akibat virus pada udang bisa diminimalisir. Namun tak sedikit yang meragukan efektivitas sistem tersebut. Purdiyanto, kepala kampung Dipasena Agung misalnya, meragukan fungsi ikan Nila sebagai ikan tumpang sari untuk melindungi udang. “Ikan nila itu kan kemampuan makannya jauh lebih besar dan lebih cepat dari pada udang. Lha kalau semua pelet (pakan udang) dihabiskan oleh Nila, bagaimana udangnya bisa tumbuh,” ujarnya. Sementara itu, ada kekhawatiran lain, yakni Nila yang akan beranak pinak di dalam tambak, akan makin mendominasi pasokan pakan yang seharusnya ditujukan untuk udang. Selain itu, jika Nila benar bisa melindungi udang, masih ada sejumlah parameter yang membuat ia pesimis bahwa system baru ini akan berjalan. Pertama, ia menyoroti minimnya sarana budi daya, seperti kincir, plastik, air dan pompa. Belum lagi kesiapan power house atau sumber listrik, yang kabarnya dari daya yang dihasilkan sebesar 16 MW, kini kemampuannya tinggal 6 MW. Selain itu, pabrik pakan Bestari di Dipasena kini sudah ditutup, sehingga dipertanyakan kesiapan perusahaan inti dalam menyediakan pakan untuk udang dan Nila . Persoalan pendanaan juga ia sebutkan bakal terkendala, mengingat saat ini pemilik tambak Dipasena, yakni PT CPP tengah mengalami kesulitan finansial. “Persoalan berikutnya adalah legitimasi perusahaan untuk menembus pasar ekspor dunia. Sekarang kan perusahaan lebih banyak menjual ke pasar lokal saja,” kata Purdiyanto. Sejumlah persoalan tampaknya membuat para petambak makin terpuruk, khususnya mereka yang belum tersentuh revitalisasi. Belum lagi satu sistem dilaksanakan dengan baik, muncul satu sistem baru yang harus diterapkan. Bagaimana dengan para petambak yang telah merasakan revitalisasi? Muhassim, petambak di Blok 07 jalur 59 No 1-2 merupakan satu dari sekian petambak yang telah mengenyam budidaya intensif lewat revitalisasi. Ia sudah mengalami satu siklus dan panen pertama pada November 2009 lalu. Namun saat itu ia merugi Rp 29 juta, dan saat ini masih tengah dicari apa penyebab kerugian. Ia memperkirakan yang menjadi penyebab kerugian adalah benur variasi dengan kualitas jelek. Hal ini terlihat saat udang memasuki usia 80 hari (satu siklus 105 hari), terjadi kematian sekitar 10 kg tiap harinya. Udang yang mati segera ia buang, agar penyakit yang menempel tidak sempat menular ke udang yang lain. “Sebenarnya sebelum tebar benih ... Lihat Selengkapnyapetugas PPL (penyuluh pertanian lapangan) sudah lihat kualitas benur variasi yang jelek. Tapi petugas inti bilang kami harus tetap tebar karena mereka bilang waktu itu tebar perdana dan sudah ditunggu,” ujar Muhassim yang ditemui di pinggiran tambak miliknya. Saat ini ia masih harus menunggu hasil pemeriksaan perusahaan inti, terkait kerugian yang dialaminya. Dan selama menunggu hasil pemeriksaan, ia masih belum bisa menebar benih udang. Repotnya, kata Muhassim, kerugian yang dialami kerap diartikan sebagai hasil dari penyelewengan oleh para petambak. Jika saat tebar benih satu tambak diestimasikan bakal mengalami panen sebesar 2 ton, maka panen di bawah estimasi itu biasanya diartikan telah dilakukan penggelapan udang. “Kami bisa dituduh telah menjual keluar hasil panen kami,” tutur Muhassim yang baru menjalani satu siklus sejak Dipasena diambil alih CPP. Kini Muhassim hanya mengandalkan hidup dari HBP yang ia terima dari perusahaan inti, selama tebar benur belum bisa ia lakukan. Memang tidak melulu cerita muram yang muncul dari dataran Rawajitu. Sedikit gembira dialami Supardi di Desa Utama Blok 02. Saat ditemui menjelang petang di tambaknya, ia tengah memanen udangnya yang diperkirakan bakal seberat 2 ton per tambak. Kendati ia masih mempertanyakan penetapan standar kualitas udang oleh inti, ia masih bisa tersenyum hari itu. Tahun lalu, 95% petambak di desa yang telah tersentuh revitalisasi ini mencicipi panen dengan hasil yang baik. Semangat menyambut siklus baru juga menyeruak di antara para petambak di Desa Agung, yang belum tersentuh revitalisasi penuh. Juru tulis desa, Manto yang didampingi Wakiman, seorang petambak, mengaku amat bergairah menyambut budi daya campur yang bakal dilaksanakan pada akhir Mei tahun ini. “Kami saat ini sudah membentuk panitia revitalisasi, untuk mempersiapan masa tebar nanti,” kata Manto. Senja pun mulai melatari horison di Rawajitu. Seperti mengkahiri sejumlah cerita nelangsa hingga sumringah yang ikut menemani sang surya memasuki peraduan. Harapan baru akan ikut mengiringi terbitnya matahari pagi, untuk mencoba peruntungan yang bisa membawa Rawajitu kembali ke masa kejayaannya. Semoga. Dipublikasikan pada Mei 2010 di Majalah Investor