Buyar sudah harapan Nafian Faiz. Semula, di benaknya sudah tergambar hasil melimpah dari tambak udang. Sedikitnya Rp 40an juta bisa diraup sekali panen. Tapi impian itu kini buyar. Kapala Kampung Dipasena Jaya, Tulang Bawang, Lampung, itu harus pasrah menerima kenyataan: kredit yang dijanjikan investor anyar tak juga mengucur.
Tahun lalu, Recapital Advisor selaku kreditur anyar Dipasena berkomitmen mencairkan pinjaman Rp 1,1 trilyun kepada petambak plasma. Setiap petambak akan mendapat kredit Rp 100 juta. Recapital berjanji mengucurkan kredit sebelum Lebaran 2006. ”Namun janji itu hanya pepesan kosong,” ungkap Faiz.
Faiz dan koncokonconya sempat ke Jakarta untuk menagih komitmen kucuran kredit tersebut, Desember lalu. Mereka menemui Menteri Keuangan dan Direktur Utama Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Mohammad Syahrial. Ketika itu, mereka mendapat kepastian bahwa kredit dari Recapital akan turun maksimal akhir Desember. Toh, janji itu meleset lagi.
Tak hanya Faiz yang dininabobokan oleh janjijanji sang dewa penolong. Sekitar 11.000 petambak udang di Tulang Bawang ikut jadi korban. Mereka adalah petambak plasma Dipasena Citra Darmaja. Para penghasil udang berkualitas nomor wahid sedunia itu pernah berjaya sebelum ditempas krisis moneter. Bersama perusahaan inti, dulu mereka memapu mengekspor udang senilai US$ 170 juta per tahun. Namun kini produksi udang mereka tak lebih dari US$ 40 juta per tahun.
Di saat paceklik itulah datang kabar menggembirakan. Setahun lalu, PPA berhasil melego Dipasena Citra. Recapital Advisor milik dua karib, Sandiaga Uno dan Rosan Perkasa Roeslani, dinyatakan sebagai pemenang kontes yang digelar PPA.
Dalam perjanjian pokok (master agreement), Recapital diwajibkan membayar dana talangan (bridging loan) untuk mengembalikan vitalitas Dipasena. Ketika itu, Recapital menyatakan siap menyalurkan dana Rp 1,1 trilyun untuk petambak plasma dan Rp 1,5 trilyun kepada Dipasena Citra Darmaja selaku inti. Mereka juga menyediakan dana talangan sebesar Rp 235,5 juta untuk operasional Dipasena.
Duit kepada perusahaan inti tak harus dialirkan sekaligus. Namun bisa bertahap setelah perjanjian revitalisasi diteken. Recapital diberi opsi memenuhinya dalam 15 bulan. Bila ini dilakukan, Recapital berhak atas 75% saham Dipasena Citra Darmaja. Tapi, bila dialirkan bertahap hingga 36 bulan, Recapital punya hak maksimal 51%.
Jika Recapital ingin membeli sisa saham milik pemerintah, harganya minimal US$ 53,5 juta. Kalau opsi itu tak diambil, aliran duit ke inti brstatus kredit. Sedangkan pinjaman ke plasma harus segera dialirkan begitu perjanjian revitalisasi diteken.
Nah, untuk memenuhi kewajibannya itu, Recapital menggandeng Renaissance Capital Asia, yang dipimpin Samin Tan. Hingga saat ini, konsorsium itu baru menyetor Rp 750 milyar ke Dipasena Citra. Masih ada sisa sebesar Rp 750 milyar yang harus dibayar ke perusahaan inti. Sementara kewajiban kepada petambak plasma sama sekali belum terpenuhi.
Akibat tertundanya kucuran kredit ke Dipasena, anggota dewan akhirnya memanggil Menteri Keuangan Sri Mulyani, Selasa pekan lalu. Dalam rapat kerja Komisi XI DPRRI dengan Menteri Keuangan itu, beberapa anggota dewan merasa geram dengan perilaku kreditur anyar yang mengulurulur waktu pencairan kredit.
Sri Mulyani mengaku sudah bersikap lunak terhadap investor anyar tersebut. Toh, kesabaran ada batasnya. Pemerintah lantas menetapkan bulan Maret sebagai batas terakhir bagi Recapital untuk mengucurkan dana talangan dan kredit kepada Dipasena serta petambak plasma. Setelah itu, pemerintah akan mengambil langkah tegas jika kewajiban revitalisasi tidak terpenuhi. ”Tidak adalagi rescheduling pendanaan,” Sri Mulyani menegaskan.
Menurut Sri Mulyani, pihaknya telah menyusun rencana darurat jika Recapital tidak mampu membayar kewajibannya. ”Yang penting, Dipasena tidak terganggung operasinya dan petani plasma tetap bisa berproduksi,” ujar Sri Mulyani. Ia bahkan sudah mengultimatum Recapital Advisor. Jika sampai Maret 2007 Recapital tak mengucurkan sisa dana revitalisasi, pemerintah akan membatalkan perjanjian.
Dirut PPA, M. Syahrial, menambahkan sejak 5 September hingga 29 Desember 2006 telah ditandatangani perjanjian baru antara PPA dan Recapital. Syahrial menegaskan, pembayaran Februari adalah penjadwalan terakhir. Bila tidak dibayar juga, Recapital tidak bisa melakukan eksekusi jaminan, dan dilakukan instant default. ”Recapital wanprestasi,” kata Syahrial.
Setelah itu, Dipasena akan direhabilitasi selama setahun. Selama waktu itu, Recapital tidak bisa memailitkan Dipasena, dan hak eksklusivitasnya akan dicabut. Lalu pemerintah akan mencari mitra baru, baik untuk inti maupun plasma.
Pihak Recapital Advisor juga sudah menyatakan kesanggupannya mengikuti kesepakatan untuk membayar kewajiban lanjutan sebesar Rp 750 milyar. Menurut Sandiaga Uno, Komisaris Recapital, pihaknya akan mematuhi pemerintah. Sandi menegaskan, Recapital bakal membayar seluruh kewajibannya, termasuk kewajiban kepada petambak plasma sebesar Rp 1,1 trilyun, paling lambat akhir Maret.
Namun Sandi, yang juga Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia ini, belum memastikan untuk memperbesar porsi kepemilikan hingga 75% saat seluruh komitmen Rp 2,6 trilyun disuntikkan, baik kepada inti maupun plasma. ”Kami akan lihat rencana bisnisnya. Kalau iklim investasinya bagu, kami akan tambah porsi saham,” ujarnya.
Meski pemerintah dan Recapital sudah mencapai kesepakatan kedua, tak urung muncul kritik dari beberapa kalangan. Pengamat Ichsanuddin Oorsy, misalnya, mengendus aroma kongkalikong antara pemerintah, manajemen Dipasena, dan ivestor baru. ”Recapital gagal memenuhi kewajiban, kok tidak mendapat sanksi, malah ada perubahan dari program revitalisasi menjadi program penjualan yang dikemas dalam perjanjian 30 Desember 2006,” ungkap Direktur Lembaga Studi Kebijakan Publik itu.
Menurut Ichsanuddin, perjanjian baru itu menggugurkan master agreement yang diteken pada 27 Oktober 2005. Namun kesepakatan anyar malah menimbulkan berbagai dampak negatif. Misalnya, dengan mekanisme default, Recapitla dipermudah untuk tidak memenuhi kewajiban sisa pembayaran pada periode Desember hingga Februari 2007. Hal itu terbukti dengan tidak menucurunya dana sebesar Rp 360 milyar pada 31 Januari lalu, seperti komitmen dalam perjanjian baru.
Begitu pula, metode penurunan dana dan konversi saham mengandung kelemahan. Sebab saham Dipasena dapat digenggam Recapital setelah 1 Maret 2007, tanpa harus melaksanakan program rekapitalisasi. Selain itu, komitmen pembiayaan bagi plasma hanyaa ditandatangani pihak manajemen dan kreditur tanpa melibatkan plasma. Belum lagi, pada saat saham inti berlahi ke Recapital, nota kesepahaman akan berubah menjadi perjanjian pemilik perusahaan dengan manajemen.
Dari proses yang terjadi itu, kata Ichsanuddin, terlihat bahwa Recapital bisa memiliki Dipasena tanpa harus mengguyurkan dana revitalisasi secara penuh. Alhasil, PPA dianggap Cuma mementingkan jualan aset dengan mengesampingkan kepentingan plasma. Akibatnya, Nafian Faiz dan 11.000 petambak lainnya menjadi korban janjijanji pepesan kosong. HERU PAMUJI
[ Majalah Gatra – 7 Maret 2007 ]
( Sumber Berita : )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar