Ribuan petambak plasma yang tergabung pada PT Aruna Wijaya Sakti (AWS), anak perusahaan PT Centralproteina Prima Tbk (CP Prima), kini resah. Mereka mengeluh dihentikannya program revitalisasi tambak oleh perusahaan inti. Dampaknya, nasib ribuan petambak plasma jadi tak jelas.
Keresahan itu diungkapkan Sekretaris Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) PT AWS, Syukri J Bintoro. Menurut Syukri, akibat terhentinya revitalisasi tambak udang sejak Januari 2009, kehidupan petambak plasma makin tidak menentu. Dari 7.221 petambak plasma yang terdaftar di P3UW, hanya 10% yang memilih ikut budidaya antara lanjutan di kolam-kolam yang sebagian besar masih rusak. Sedangkan sekitar 10%-15% petambak lain bertekad melakukan budidaya mandiri, meskipun perusahaan tidak membolehkan, dan sebagian lain menunggu revitalisasi selesai.
“Karena kondisi kolam yang tidak memadai, maka hasil panen pun tidak maksimal. Bahkan, dari dua kolam hanya dihasilkan sekitar 2 kuintal. Padahal, hasil budidaya tersebut sebagian besar untuk bayar utang biaya budidaya kepada perusahaan,” kata Syukri.
Itu sebabnya, Syukri mengaku para petambak sangat mengharapkan bantuan pemerintah. Mereka meminta pemerintah turun tangan lantaran CP Prima tak memenuhi target program revitalisasi tambak di wilayah Lampung tersebut. Bahkan petambak yang tergabung dalam P3UW sudah dua kali mengirim surat ke Presiden. Terakhir, 12 Februari lalu, perwakilan petambak kembali meminta pemerintah mengambil langkah setelah proses revitalisasi tambak terkatung-katung.
“Perwakilan petambak plasma udang windu di area pertambakan Aruna Wijaya Sakti (dulu Dipasena Citra Darmaja) masih sabar menunggu jawaban dari Presiden,” ujarnya.
Desak pemerintah
Sementara itu, Wakil Ketua P3UW PT AWS, Thowilun juga mendesak tanggung jawab pemerintah. Pasalnya, sewaktu PKS disusun, pemerintah berjanji mengawal revitalisasi tambak. Tanggung jawab itu timbul karena pemerintah memutuskan CP Prima sebagai pemenang penjualan saham dan aset Dipasena yang semula dikuasai pemerintah.
“Dalam surat ke Presiden SBY, prinsipnya petambak meminta Presiden tidak lepas tangan setelah menjual aset negara, sekaligus mendesak CP Prima menjalankan revitalisasi. Jika CP Prima tidak mampu, tender harus ditinjau ulang,” ujarnya.
Thowilun menilai CP Prima tidak mampu memenuhi janjinya merevitalisasi tambak eks Dipasena. Padahal, sebelumnya, CP Prima telah menyatakan komitmennya kepada pemerintah mengoperasikan tambak seluas 186.000 hektare (ha), setelah mengakuisisi tambak Dipasena tahun 2007. Namun, karena alasan krisis global, secara sepihak CP Prima menghentikan revitalisasi sejak Januari 2009. “Akibatnya, nasib banyak karyawan dan petambak terkatung-katung,” ujarnya.
Dia menjelaskan, sebelum penghentian revitalisasi, CP Prima juga baru merevitalisasi 3% dari total tambak yang berjumlah 16 blok. Dari jumlah tersebut, yang direvitalisasi baru 1,5 blok seluas 150 ha. Padahal, perjanjiannya akan merevitalisasi 16 blok dalam 18 bulan. “Revitalisasi dijadwalkan 18 bulan sejak perjanjian ditandatangani. Namun, hingga akhir Desember 2008, realisasinya hanya pada setengah blok tambak di Blok 3 Desa Dipasena Utama. Pada Januari 2009, secara sepihak perusahaan menghentikan revitalisasi dengan alasan krisis global,” paparnya.
Penghentian sepihak ini dinilai sangat memberatkan petambak plasma. Untuk mengurangi beban, sebagian petambak coba melanjutkan budidaya udang, tetapi hasilnya tak memuaskan. Bahkan, banyak petambak kini juga terbelit utang ke perusahaan, rata-rata Rp 40 juta/orang.
“Para petambak mendesak pemerintah mendorong AWS segera menyelesaikan revitalisasi sesuai dengan perjanjian. Jika perlu, kelayakan CP Prima sebagai pemenang tender penjualan saham dan aset Grup Dipasena dengan program pengamanan revitalisasi juga harus ditinjau ulang,” ujarnya.
Utang bertambah
Sementara itu, Nafian Faiz — seorang petambak plasma PT AWS — mengaku kini petambak sangat susah karena tidak bisa membudidayakan udang. Apalagi, perbaikan tambak mandek. Akibatnya, plasma yang menghuni blok 5, 8, 9 sampai 15 kini tidak ada kegiatan.
“Jadi, praktis kegiatan plasma kini tidak ada. Memang pihak inti memberikan biaya hidup Rp900.000/bulan. Tapi, kini usaha sampingan dilarang, seperti penjualan udang, memasukkan benur dan pakan karena memang sudah dilarang dan dijadikan kesepakatan antara inti dan plasma,” ujarnya
Menurut Nafian, pemberian biaya hidup Rp900.000/bulan juga dinilai sangat merugikan plasma dari segi bisnis. Pasalnya, utang plasma jadi bertambah kepada perusahaan inti. “Utang awal plasma saat manajemen baru mengambil alih DCD (Dipasena Citra Darmaja) Rp20 juta/plasma dan sekarang ditambah Rp900.000/bulan, plus listrik dan lain-lain. Sedangkan hingga kini banyak petambak belum bisa melakukan budidaya udang,” keluhnya. Umarwanto
CP Prima: Kami Belum Tahu Kapan Dilanjutkan Lagi
CP Prima menampik tudingan perwakilan para petambak terkait program revitalisasi perseroan. Bahkan, perseroan menegaskan program revitalisasi tambak PT AWS masih berjalan, meski dilakukan secara bertahap.
“Akibat krisis ekonomi global yang juga menerpa semua sektor, menyebabkan perusahaan harus menerapkan manajemen keuangan yang lebih hati-hati. Kebijakan tersebut menyebabkan revitalisasi terhambat,” kata Manajer Komunikasi PT CP Prima, Fajar Reksoprodjo kepada Agro Indonesia.
Menurut Fajar, kebijakan tersebut sangat wajar mengingat tidak hanya sektor perikanan saja yang menghadapi banyak kendala. Bahkan, dibanding sektor lain, bisnis udang relatif masih eksis. Apalagi program revitalisasi tambak seluas 16.250 ha sesungguhnya punya jadwal dan tidak mungkin selesai dalam 1 hingga 3 bulan. Dan itu bukan proyek kecil, sehingga membutuhkan tahapan-tahapan. “Sebagai bukti telah melakukan revitalisasi dengan baik, terutama tambak Wachjuni Mandira (WM) yang berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Desember 2007 kemarin,” jelasnya.
Hanya saja, dia mengakui, sejak krisis global CP Prima telah menekan belanja modal supaya kelangsungan perusahaan tetap berjalan. Terutama menekan pembelian plastik, kincir angin, serta sarana dan prasarana tambak yang lain. CP Prima juga menerapkan prinsip kehati-hatian sehingga sementara ini revitalisasi diperlambat.
“CP Prima sedang menjadwal ulang revitalisasi. Masyarakat perlu tahu, kami satu-satunya perusahaan yang melakukan revitalisasi pertambakan udang. Penghentian itu hanya sementara. Tapi, kami belum tahu kapan program itu dilanjutkan lagi,” kilahnya.
Fajar menjelaskan, revitalisasi tambak AWS tetap berjalan dan plasma tetap bisa melakukan budidaya — yang disebut budidaya antara — selama proses revitalisasi. Artinya, budidaya tidak sebesar saat normal karena hanya menunggu selesai revitalisasi. Berdasarkan Perjanjian Kerja Sama (PKS) CP Prima dengan petambak plasma, Desember 2007 disebutkan, perusahaan akan merevitalisasi sebanyak 16 blok tambak di delapan desa di lokasi PT Aruna Wijaya Sakti (AWS) seluas 16.250 ha.
“CP Prima tetap peduli dengan plasma. Terbukti, selama transisi proses revitalisasi, petambak plasma melakukan budidaya dengan mendapatkan biaya hidup dari perusahaan sebesar Rp 900.000/bulan,” ujarnya.
Selain bantahan dari pihak perusahaan, dari kalangan petambak yang tergabung dalam P3W sendiri tidak semuanya mengeluh dan resah. Zamroni contohnya. Ketua Bidang Ekonomi P3W AWS ini mengatakan, petambak harus mengerti tentang kesulitan perusahaan. Pasalnya, dengan berbagai masalah yang dihadapi CP Prima — terakhir akibat hantaman krisis global — perusahaan harus berhati-hati. Apalagi yang menyangkut revitalisasi memang tidak semudah apa yang dikatakan banyak orang.
“Revitalisasi tambak dengan luas yang dimiliki AWS membutuhkan banyak tenaga kerja. Dan kenyataannya, perusahaan kontraktor yang terpilih tidak mampu menyediakan tenaga kerja tersebut. Kondisi ini juga menjadi penghambat,” ujarnya.
Dia mengakui, walaupun revitalisasi terhambat, namun prospek udang masih sangat menggiurkan. Terbukti, perbankan siap mengucurkan dananya. Selain Bank Syariah Mandiri, belum lama ini para petambak plasma juga telah meneken MoU dengan BRI. Intinya, bank milik pemerintah tersebut siap mengucurkan pinjaman terhadap 5.000 plasma dengan pinjaman hingga Rp126,6 juta/plasma. “Kami berharap petambak tetap sabar. Apalagi perusahaan tidak mungkin melakukan revitalisasi secara serentak pada tambak seluas 16.250 ha,” ujarnya. Umarwanto