20 Oktober 2009

AKSI P3UW DI MENGGALA 19 OKTOBER 2009

Lampungpost: Selasa, 20 Oktober 2009
RUWA JURAI
Plasma PT AWS Kembali Berdemo Tuntut Revitalisasi

MENGGALA (Lampost): Sekitar 5.000-an petambak plasma yang tergabung dalam PT AWS (Aruna Wijaya Sakti) kembali berunjuk rasa. Mereka meminta Pemkab memberikan kebijakan yang tepat mengenai revitalisasi yang tak kunjung terwujud.

Umar (34), salah seorang pengurus Persatuan Plasma Petambak Udang Windu (P3WU), sehari sebelumnya mengatakan mereka telah menginap di depan kantor bupati, Minggu (18-10).

Aksi kedua ini, ujarnya, sama tuntutannya meminta revitalisasi segera diwujudkan. Untuk itu, P3WU meminta Pemkab memediasi dan menentukan kebijakan yang tepat hingga permasalahan mereka hadapi cepat selesai.

Secara terpisah, pihak Polres Tulangbawang mengamankan jalannya unjuk rasa petambak dengan harapan demo berlangsung tertib sesuai aturan dan ketentuan yang berlaku. "Kami mengimbau tidak berlaku anarkis karena tindakan itu melanggar hukum," ujar Kapolres melalui Kasatreskrim AKP Derry Agung Wijaya.

Sebagaimana diungkapkan Ketua P3UW Nafian Fais pada demo yang pertama, bahwa plasma diberitahu jika revitalisasi akan selesai September 2009. Namun, pada April 2009, inti mengubah jadwal revitalisasi hingga dengan Desember 2011. Namun belakangan, rencana tersebut kembali molor.

Sedangkan di lapangan, kata dia, telah terjadi kesenjangan ekonomi antarkampung. Dengan tidak berjalannya dijalankannya pengamanan kawasan berikat, bertambah rusaknya infrastruktur budi daya dan fasilitas sosial umum, dan membengkaknya utang plasma yang belum direvitalisasi.

Penuh Kehati-hatian

Menanggapi keluhan petambak plasma yang bernaung dalam tambak, Manajer Komunikasi Perseroan, Fajar Reksoprodjo, kembali menyatakan krisis keuangan global menyebabkan pihaknya (PT Sentral Proteinprima) harus mengambil langkah hati-hati dalam tata kelola manajemen keuangan, termasuk dalam pengeluaran biaya revitalisasi.

Hal ini untuk menjaga kelangsungan usaha ke depannya serta kesejahteraan ribuan jiwa lainnya yang bernaung di bawah CP Prima.

Tata kelola keuangan yang berhati-hati tersebut, kata Fajar, mengharuskan dilakukannya penjadwalan ulang proyek revitalisasi. "Namun, kami tetap akan menyelesaikan proyek revitalisasi sesuai dengan dengan komitmen awal kami selaras dengan kondisi perekonomian nasional dan global," ujarnya.

CP Prima juga terus mengacu dan berkomitmen kepada perjanjian kerja sama yang telah ditandatangani bersama antara Perseroan, sebagai pihak Inti, dan para petambak plasma, yang mengatur berbagai aspek seperti pinjaman, penentuan standar mutu, harga beli udang dan proses transaksi.

"Sebagai perusahaan swasta yang telah memenuhi kewajibannya dan bersaing di pasar bebas, CP Prima akan selalu mengusahakan yang terbaik dan memberikan komitmennya dalam melaksanakan kerja sama dengan para petambak plasma," ujar Fajar. n Ck-4/D-1

14 Oktober 2009

DILU RECCAP,SEKARANG NEPTUNE

Setelah Ingkar Janji Yang Kedua

Buyar sudah harapan Nafian Faiz. Semula, di benaknya sudah tergambar hasil melimpah dari tambak udang. Sedikitnya Rp 40an juta bisa diraup sekali panen. Tapi impian itu kini buyar. Kapala Kampung Dipasena Jaya, Tulang Bawang, Lampung, itu harus pasrah menerima kenyataan: kredit yang dijanjikan investor anyar tak juga mengucur.

Tahun lalu, Recapital Advisor selaku kreditur anyar Dipasena berkomitmen mencairkan pinjaman Rp 1,1 trilyun kepada petambak plasma. Setiap petambak akan mendapat kredit Rp 100 juta. Recapital berjanji mengucurkan kredit sebelum Lebaran 2006. ”Namun janji itu hanya pepesan kosong,” ungkap Faiz.

Faiz dan koncokonconya sempat ke Jakarta untuk menagih komitmen kucuran kredit tersebut, Desember lalu. Mereka menemui Menteri Keuangan dan Direktur Utama Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Mohammad Syahrial. Ketika itu, mereka mendapat kepastian bahwa kredit dari Recapital akan turun maksimal akhir Desember. Toh, janji itu meleset lagi.

Tak hanya Faiz yang dininabobokan oleh janjijanji sang dewa penolong. Sekitar 11.000 petambak udang di Tulang Bawang ikut jadi korban. Mereka adalah petambak plasma Dipasena Citra Darmaja. Para penghasil udang berkualitas nomor wahid sedunia itu pernah berjaya sebelum ditempas krisis moneter. Bersama perusahaan inti, dulu mereka memapu mengekspor udang senilai US$ 170 juta per tahun. Namun kini produksi udang mereka tak lebih dari US$ 40 juta per tahun.

Di saat paceklik itulah datang kabar menggembirakan. Setahun lalu, PPA berhasil melego Dipasena Citra. Recapital Advisor milik dua karib, Sandiaga Uno dan Rosan Perkasa Roeslani, dinyatakan sebagai pemenang kontes yang digelar PPA.

Dalam perjanjian pokok (master agreement), Recapital diwajibkan membayar dana talangan (bridging loan) untuk mengembalikan vitalitas Dipasena. Ketika itu, Recapital menyatakan siap menyalurkan dana Rp 1,1 trilyun untuk petambak plasma dan Rp 1,5 trilyun kepada Dipasena Citra Darmaja selaku inti. Mereka juga menyediakan dana talangan sebesar Rp 235,5 juta untuk operasional Dipasena.

Duit kepada perusahaan inti tak harus dialirkan sekaligus. Namun bisa bertahap setelah perjanjian revitalisasi diteken. Recapital diberi opsi memenuhinya dalam 15 bulan. Bila ini dilakukan, Recapital berhak atas 75% saham Dipasena Citra Darmaja. Tapi, bila dialirkan bertahap hingga 36 bulan, Recapital punya hak maksimal 51%.

Jika Recapital ingin membeli sisa saham milik pemerintah, harganya minimal US$ 53,5 juta. Kalau opsi itu tak diambil, aliran duit ke inti brstatus kredit. Sedangkan pinjaman ke plasma harus segera dialirkan begitu perjanjian revitalisasi diteken.

Nah, untuk memenuhi kewajibannya itu, Recapital menggandeng Renaissance Capital Asia, yang dipimpin Samin Tan. Hingga saat ini, konsorsium itu baru menyetor Rp 750 milyar ke Dipasena Citra. Masih ada sisa sebesar Rp 750 milyar yang harus dibayar ke perusahaan inti. Sementara kewajiban kepada petambak plasma sama sekali belum terpenuhi.

Akibat tertundanya kucuran kredit ke Dipasena, anggota dewan akhirnya memanggil Menteri Keuangan Sri Mulyani, Selasa pekan lalu. Dalam rapat kerja Komisi XI DPRRI dengan Menteri Keuangan itu, beberapa anggota dewan merasa geram dengan perilaku kreditur anyar yang mengulurulur waktu pencairan kredit.

Sri Mulyani mengaku sudah bersikap lunak terhadap investor anyar tersebut. Toh, kesabaran ada batasnya. Pemerintah lantas menetapkan bulan Maret sebagai batas terakhir bagi Recapital untuk mengucurkan dana talangan dan kredit kepada Dipasena serta petambak plasma. Setelah itu, pemerintah akan mengambil langkah tegas jika kewajiban revitalisasi tidak terpenuhi. ”Tidak adalagi rescheduling pendanaan,” Sri Mulyani menegaskan.

Menurut Sri Mulyani, pihaknya telah menyusun rencana darurat jika Recapital tidak mampu membayar kewajibannya. ”Yang penting, Dipasena tidak terganggung operasinya dan petani plasma tetap bisa berproduksi,” ujar Sri Mulyani. Ia bahkan sudah mengultimatum Recapital Advisor. Jika sampai Maret 2007 Recapital tak mengucurkan sisa dana revitalisasi, pemerintah akan membatalkan perjanjian.

Dirut PPA, M. Syahrial, menambahkan sejak 5 September hingga 29 Desember 2006 telah ditandatangani perjanjian baru antara PPA dan Recapital. Syahrial menegaskan, pembayaran Februari adalah penjadwalan terakhir. Bila tidak dibayar juga, Recapital tidak bisa melakukan eksekusi jaminan, dan dilakukan instant default. ”Recapital wanprestasi,” kata Syahrial.

Setelah itu, Dipasena akan direhabilitasi selama setahun. Selama waktu itu, Recapital tidak bisa memailitkan Dipasena, dan hak eksklusivitasnya akan dicabut. Lalu pemerintah akan mencari mitra baru, baik untuk inti maupun plasma.

Pihak Recapital Advisor juga sudah menyatakan kesanggupannya mengikuti kesepakatan untuk membayar kewajiban lanjutan sebesar Rp 750 milyar. Menurut Sandiaga Uno, Komisaris Recapital, pihaknya akan mematuhi pemerintah. Sandi menegaskan, Recapital bakal membayar seluruh kewajibannya, termasuk kewajiban kepada petambak plasma sebesar Rp 1,1 trilyun, paling lambat akhir Maret.

Namun Sandi, yang juga Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia ini, belum memastikan untuk memperbesar porsi kepemilikan hingga 75% saat seluruh komitmen Rp 2,6 trilyun disuntikkan, baik kepada inti maupun plasma. ”Kami akan lihat rencana bisnisnya. Kalau iklim investasinya bagu, kami akan tambah porsi saham,” ujarnya.

Meski pemerintah dan Recapital sudah mencapai kesepakatan kedua, tak urung muncul kritik dari beberapa kalangan. Pengamat Ichsanuddin Oorsy, misalnya, mengendus aroma kongkalikong antara pemerintah, manajemen Dipasena, dan ivestor baru. ”Recapital gagal memenuhi kewajiban, kok tidak mendapat sanksi, malah ada perubahan dari program revitalisasi menjadi program penjualan yang dikemas dalam perjanjian 30 Desember 2006,” ungkap Direktur Lembaga Studi Kebijakan Publik itu.

Menurut Ichsanuddin, perjanjian baru itu menggugurkan master agreement yang diteken pada 27 Oktober 2005. Namun kesepakatan anyar malah menimbulkan berbagai dampak negatif. Misalnya, dengan mekanisme default, Recapitla dipermudah untuk tidak memenuhi kewajiban sisa pembayaran pada periode Desember hingga Februari 2007. Hal itu terbukti dengan tidak menucurunya dana sebesar Rp 360 milyar pada 31 Januari lalu, seperti komitmen dalam perjanjian baru.

Begitu pula, metode penurunan dana dan konversi saham mengandung kelemahan. Sebab saham Dipasena dapat digenggam Recapital setelah 1 Maret 2007, tanpa harus melaksanakan program rekapitalisasi. Selain itu, komitmen pembiayaan bagi plasma hanyaa ditandatangani pihak manajemen dan kreditur tanpa melibatkan plasma. Belum lagi, pada saat saham inti berlahi ke Recapital, nota kesepahaman akan berubah menjadi perjanjian pemilik perusahaan dengan manajemen.

Dari proses yang terjadi itu, kata Ichsanuddin, terlihat bahwa Recapital bisa memiliki Dipasena tanpa harus mengguyurkan dana revitalisasi secara penuh. Alhasil, PPA dianggap Cuma mementingkan jualan aset dengan mengesampingkan kepentingan plasma. Akibatnya, Nafian Faiz dan 11.000 petambak lainnya menjadi korban janjijanji pepesan kosong. HERU PAMUJI

[ Majalah Gatra – 7 Maret 2007 ]

( Sumber Berita : )

JAWABAN DARI KERAGUAN

Petambak Desak Perusahaan untuk Merevitalisasi

Selasa, 13 Oktober 2009 | 03:45 WIB

Bandar Lampung, Kompas - Pascaunjuk rasa di kawasan pertambakan udang di Rawajitu, Tulang Bawang, Lampung, Minggu (11/10), petambak plasma udang PT Aruna Wijaya Sakti, anak perusahaan PT Central Proteinaprima, tetap mendesak dan mempertanyakan komitmen serta kemampuan perusahaan untuk merevitalisasi tambak.

Nafian Faiz, Ketua Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) PT Aruna Wijaya Sakti (PT AWS), Senin (12/10), mengatakan, pascaakuisisi aset Dipasena Citra Darmaja pada Mei 2007, perusahaan akan melakukan perbaikan pada sarana prasarana tambak agar petambak bisa segera membudidayakan udang.

Rencana awal revitalisasi kawasan yang terdiri atas 16 blok areal tambak akan selesai pada September 2009. Namun, sampai sekarang belum selesai.

Pada April 2009, perusahaan meminta pengunduran waktu pelaksanaan revitalisasi sehingga ada kesepakatan, revitalisasi selesai dikerjakan pada September 2011. Namun, 9 Oktober 2009 perusahaan kembali meminta bertemu dengan petambak untuk memundurkan revitalisasi selama satu tahun. Hal itulah yang memicu unjuk rasa hari Minggu.

Tawaran perusahaan agar petambak PT AWS yang belum tersentuh revitalisasi mengelola tambak perusahaan di lokasi lain ditolak para petambak.

Ada 700 petambak PT AWS yang sudah dipindahkan ke PT Wachyuni Mandira (PT WM), anak perusahaan CP Prima lain, dan membudidayakan udang di sana sejak awal tahun 2009.

Thowilun, Wakil Ketua P3UW PT AWS, mengatakan, lahan di PT WM sudah habis dipakai petambak plasma asli dan petambak dari PT AWS yang lebih dulu pindah. ”Hendak dikemanakan 5.000 petambak PT AWS yang ada sekarang? Sebaiknya PT AWS melakukan revitalisasi tambak sesuai rencana awal,” katanya.

Akibat krisis global

Menanggapi keluhan para petambak plasma PT AWS, Manajer Komunikasi PT CP Prima Fajar Reksoprodjo mengatakan, perusahaan sepenuhnya memerhatikan kepentingan petambak.

”Kami menjamin bahwa proyek revitalisasi akan dilanjutkan. Hanya saja, kami mohon permakluman dikarenakan krisis keuangan global, penyelesaian revitalisasi AWS terpaksa dijadwal ulang,” katanya.

CP Prima tetap mengacu pada perjanjian kerja sama yang ditandatangani perusahaan dengan petambak plasma. Perjanjian itu antara lain mengatur pinjaman, penentuan standar mutu, harga beli udang, dan proses transaksi.

Menurut Fajar, permintaan petambak untuk mengubah sistem transaksi budidaya antara lanjutan dengan sistem pemberian pinjaman untuk modal usaha dan pengembalian setelah panen sulit dipenuhi.

Dalam unjuk rasa Minggu kemarin, petambak meminta perusahaan mengubah sistem budidaya antara lanjutan karena dinilai menambah utang petambak kepada perusahaan.

Utang bulanan tambak yang diterima petambak plasma Rp 900.000 per bulan. Pinjaman itu bukan hanya untuk kebutuhan sehari-hari, melainkan juga untuk operasional budidaya, seperti pembelian benur, pakan, dan obat-obatan.

Pihak P3UW PT AWS mencatat, utang plasma terendah saat ini Rp 56 juta dan tertinggi Rp 94 juta per keluarga. (HLN/LKT/KOMPAS)

NASIB PLASMA BELUM MENENTU

Petambak Unjuk Rasa
CP Prima Ajukan Tawaran KSO

Senin, 12 Oktober 2009 | 03:51 WIB

Bandar Lampung, Kompas - Sekitar 5.000 pengelola plasma udang PT Aruna Wijaya Sakti berunjuk rasa di kawasan penambakan perusahaan di Rawajitu, Tulang Bawang, Lampung, Minggu (11/10). Mereka menolak pengunduran kembali program revitalisasi tambak bekas Dipasena Citra Darmaja tersebut.

Syukri J Bintoro, Wakil Sekretaris Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) PT Aruna Wijaya Sakti (AWS), yang dihubungi di Rawajitu, Minggu (11/10), mengatakan, aksi sekitar 5.000 pengelola plasma udang itu berlangsung damai.

Revitalisasi tambak yang dimaksud adalah tambak-tambak yang rusak diperbaiki/difungsikan lagi, antara lain menambal kebocoran tambak dan tanggul, mengganti kincir air, dan memperbaiki saluran pembuangan dan pemasukan air tambak.

Di Jakarta, Manajer Komunikasi PT Central Proteinaprima (CP Prima) Fajar Reksoprodjo, Minggu siang, menegaskan, CP Prima berkomitmen menyelesaikan proyek revitalisasi tambak udang AWS. Upaya memperkecil dampak penundaan revitalisasi bagi petambak plasma, di antaranya, menawarkan petambak plasma yang belum tersentuh revitalisasi tambak untuk mengelola tambak milik perusahaan lewat kerja sama operasi (KSO).

Para petambak plasma udang itu menolak rencana perusahaan untuk mengundurkan kembali pelaksanaan program revitalisasi. ”Sejak kawasan pertambangan milik Dipasena Grup diakuisisi CP Prima pada 2007, rencana revitalisasi tidak tuntas. Yang ada, pengunduran-pengunduran program,” ujar Syukri.

Data P3UW menunjukkan, sesuai kesepakatan, pasca-akuisisi Mei 2007, perusahaan memprogramkan revitalisasi seluruh tambak di kawasan 16.250 hektar itu selesai pada September 2009. Namun, revitalisasi berjalan sangat lambat. Sesuai kesepakatan baru, April 2009, perusahaan bersedia menyelesaikan revitalisasi pada Desember 2011. Namun, petambak menuntut dipercepat.

Wakil Ketua P3UW Thowilun mengatakan, sejak 2007-Oktober 2009, baru tambak di Blok 0, 1, 2, dan 3 yang direvitalisasi. Adapun pascakesepakatan April 2009, revitalisasi baru 70 persen terlaksana di Blok 7. Lambatnya revitalisasi mengakibatkan utang plasma dari biaya hidup bulanan Rp 900.000 per keluarga, dan utang budidaya membengkak Rp 56 juta-Rp 94 juta per keluarga.

Manajer Komunikasi CP Prima Fajar Reksoprodjo mengemukakan, pemunduran jadwal revitalisasi tambak udang plasma di AWS, anak perusahaan CP Prima, di luar kendali perusahaan. Program revitalisasi tambak merupakan proyek pengeluaran (belanja modal), sedangkan pendanaan perusahaan mengalami kendala karena dampak krisis keuangan global. Perusahaan harus berhemat dalam pengelolaan keuangan. ”Kami menawarkan petambak plasma yang belum tersentuh revitalisasi untuk mengelola tambak milik perusahaan lewat KSO,” kata Fajar.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Departemen Kelautan (DKP) Made L Nurdjana berjanji segera mencari tahu permasalahan yang dialami perusahaan. Namun, pihaknya tidak bisa sepenuhnya turut campur dalam menyelesaikan konflik antara kedua pihak. ”(Konflik) ini, masalah antara petambak dan perusahaan, DKP tidak bisa leluasa terlibat. Peran DKP adalah pengawalan revitalisasi secara teknis,” kata Made. (HLN/LKT/kompas)

06 Oktober 2009

PT RECAPITAL GAGAL

Dipasena Lepas dari Recapital:4.000-an Petambak Plasma Gelar Pengajian

JAKARTA (Lampost): Recapital Advisors akhirnya gagal memenuhi kewajiban melunasi sisa pembayaran revitalisasi inti PT Dipasena Citra Darmaja (Dipasena) Rp800 miliar kepada pemerintah.

ANCAMAN BOM. Polisi bersenjata laras panjang berjaga-jaga di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Kamis (1-3). Petugas memperketat penjagaan di tempat tersebut setelah ada ancaman bom dari seseorang yang mengaku anggota Al Qaeda yang menelepon kantor polisi.
(AFP/BAY ISMOYO)

Sebagai konsekuensi gagal bayar (default) ini, Recapital kehilangan hak ekslusif mengonversi dana revitalisasi yang telah disetorkan menjadi saham. Bahkan, Recapital juga kehilangan Rp700 miliar yang sudah disetorkan kepada PPA.

Komisaris Utama Recapital Sandiaga Uno, kepada Media Indonesia (grup Lampung Post), Kamis (1-3), menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat bahwa pihaknya gagal memenuhi kewajiban sesuai batas waktu yang ditetapkan pemerintah, yaitu tanggal 1 Maret 2007.

Ia mengakui jika pihaknya melakukan kesalahan dalam perhitungan kompleksitas persoalan di Dipasena. "Ada beberapa hal yang ternyata kompleksitasnya salah diperhitungkan. Hal itu mengakibatkan target tidak bisa dipenuhi," kata Sandiaga.

Ia mengungkapkan pihaknya telah meminta perpanjangan waktu pelunasan hingga bulan Mei 2007. Namun, PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), sebagai wakil pemerintah di Dipasena, menolak permohonan tersebut dan tetap meminta Recapital melunasi kewajiban tanggal 1 Maret kemarin.

Kini Recapital menyerahkan segala keputusan kepada PPA.

"Kami menyerahkan keputusan kepada PPA, apakah tetap memercayakan Dipasena kepada kami atau ada opsi lain," ujar Sandiaga. Hingga kini, ujarnya, PPA belum bersikap atas kegagalan ini.

Sementara itu, Wakil Direktur Utama PPA Raden Pardede mengatakan pihaknya akan melaporkan kegagalan Recapital tersebut kepada Menteri Keuangan. "Setelah itu, Menteri Keuangan yang akan memutuskan langkah berikutnya," kata Raden.

Akibat kegagalan Recapital tersebut, nasib 11 ribu petani plasma Dipasena juga makin gelap. Pasalnya, kegagalan tersebut akan membuat janji pemberian bantuan kredit Rp1,1 triliun atau Rp100 juta per petani plasma menjadi tidak jelas.

Pengucuran kredit ke petani plasma itu bergantung pada pelunasan yang sedianya dilakukan kemarin. Dipasena kini juga terancam tidak bisa beroperasi kembali.

Seperti diketahui, Dipasena merupakan satu dari tiga perusahaan yang diserahkan obligor Sjamsul Nursalim sebagai bagian penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Rp28,4 triliun.

Namun, setelah terjadi konflik antara petambak (plasma) dan Sjamsul (inti), operasi tambak ini berhenti dan nilainya merosot drastis. Padahal, Dipasena pernah tercatat sebagai perusahaan tambak udang terbesar di Asia Tenggara.

Pada tanggal 27 Oktober 2005, Dipasena dan Recapital selaku preferred creditor menandatangani master agreement dan bridging loan untuk pembiayaan revitalisasi tambak udang Dipasena Group.

Mereka sepakat segera melaksanakan proses pencairan pinjaman dengan total pinjaman 150 juta dolar AS untuk pembiayaan inti dan kurang lebih Rp900 miliar pembiayaan untuk sekitar 11 ribu petambak plasma Dipasena Group, termasuk pencairan bridging loan Rp233 miliar untuk petambak plasma sebelum hari Lebaran tahun 2006.

Pengajian

Sementara itu, sekitar 4.000 petani plasma PT DCD dan 500-an karyawan perusahaan tambak udang di Rawajitu Timur tersebut menggelar pengajian akbar guna memperingati tewasnya Riswandi, petambak plasma Blok 10. Riswandi tewas dalam tragedi tanggal 1 Maret, enam tahun silam, akibat tertembak.

Pengajian yang dipusatkan di tanggul penangkis PT DCD, kemarin, sejak pukul 09.00 hingga 11.30, berjalan tertib. Pengajian juga dihadiri aparat keamanan setempat dari Koramil Rawajitu Selatan, Polsek Rawajitu Selatan, Polairud Rawajitu, serta jajaran Devisi Kemitraan yang mewakili manajemen PT DCD.

Pada acara tersebut, Ketua P3UW Parjono Diarjo menyampaikan pesan kepada masyarakat plasma bahwa P3UW sangat prihatin dengan berlarut-larutnya proses revitalisasi PT DCD.

Namun, Parjono berpesan agar semua kegagalan revitalisasi ini bisa memberikan hikmah yang lebih baik. "Ambil saja hikmahnya," ujar Parjono di hadapan plasma. Pihaknya juga mengimbau semua elemen, termasuk karyawan dan plasma, untuk tetap bersatu.

Menurut mantan Sekjen P3UW Nafian Faiz, kegiatan ini merupakan bukti solidaritas sesama plasma yang meninggal pada tragedi tanggal 1 Maret enam tahun silam. Saat itu, ujar Nafian, korban tertembak di mata oleh pengawal Sjamsul Nursalim saat melakukan tuntutan kepada manajemen. n WID/R-1

dari dulu plasma udah ragu dengan neptune

Presiden Jangan Lepas Tangan Post Info Tuesday, March 24th, 2009 16:59 by agroindonesia Print Print this page

Ribuan petambak plasma yang tergabung pada PT Aruna Wijaya Sakti (AWS), anak perusahaan PT Centralproteina Prima Tbk (CP Prima), kini resah. Mereka mengeluh dihentikannya program revitalisasi tambak oleh perusahaan inti. Dampaknya, nasib ribuan petambak plasma jadi tak jelas.

Keresahan itu diungkapkan Sekretaris Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) PT AWS, Syukri J Bintoro. Menurut Syukri, akibat terhentinya revitalisasi tambak udang sejak Januari 2009, kehidupan petambak plasma makin tidak menentu. Dari 7.221 petambak plasma yang terdaftar di P3UW, hanya 10% yang memilih ikut budidaya antara lanjutan di kolam-kolam yang sebagian besar masih rusak. Sedangkan sekitar 10%-15% petambak lain bertekad melakukan budidaya mandiri, meskipun perusahaan tidak membolehkan, dan sebagian lain menunggu revitalisasi selesai.

“Karena kondisi kolam yang tidak memadai, maka hasil panen pun tidak maksimal. Bahkan, dari dua kolam hanya dihasilkan sekitar 2 kuintal. Padahal, hasil budidaya tersebut sebagian besar untuk bayar utang biaya budidaya kepada perusahaan,” kata Syukri.

Itu sebabnya, Syukri mengaku para petambak sangat mengharapkan bantuan pemerintah. Mereka meminta pemerintah turun tangan lantaran CP Prima tak memenuhi target program revitalisasi tambak di wilayah Lampung tersebut. Bahkan petambak yang tergabung dalam P3UW sudah dua kali mengirim surat ke Presiden. Terakhir, 12 Februari lalu, perwakilan petambak kembali meminta pemerintah mengambil langkah setelah proses revitalisasi tambak terkatung-katung.

“Perwakilan petambak plasma udang windu di area pertambakan Aruna Wijaya Sakti (dulu Dipasena Citra Darmaja) masih sabar menunggu jawaban dari Presiden,” ujarnya.

Desak pemerintah

Sementara itu, Wakil Ketua P3UW PT AWS, Thowilun juga mendesak tanggung jawab pemerintah. Pasalnya, sewaktu PKS disusun, pemerintah berjanji mengawal revitalisasi tambak. Tanggung jawab itu timbul karena pemerintah memutuskan CP Prima sebagai pemenang penjualan saham dan aset Dipasena yang semula dikuasai pemerintah.

“Dalam surat ke Presiden SBY, prinsipnya petambak meminta Presiden tidak lepas tangan setelah menjual aset negara, sekaligus mendesak CP Prima menjalankan revitalisasi. Jika CP Prima tidak mampu, tender harus ditinjau ulang,” ujarnya.

Thowilun menilai CP Prima tidak mampu memenuhi janjinya merevitalisasi tambak eks Dipasena. Padahal, sebelumnya, CP Prima telah menyatakan komitmennya kepada pemerintah mengoperasikan tambak seluas 186.000 hektare (ha), setelah mengakuisisi tambak Dipasena tahun 2007. Namun, karena alasan krisis global, secara sepihak CP Prima menghentikan revitalisasi sejak Januari 2009. “Akibatnya, nasib banyak karyawan dan petambak terkatung-katung,” ujarnya.

Dia menjelaskan, sebelum penghentian revitalisasi, CP Prima juga baru merevitalisasi 3% dari total tambak yang berjumlah 16 blok. Dari jumlah tersebut, yang direvitalisasi baru 1,5 blok seluas 150 ha. Padahal, perjanjiannya akan merevitalisasi 16 blok dalam 18 bulan. “Revitalisasi dijadwalkan 18 bulan sejak perjanjian ditandatangani. Namun, hingga akhir Desember 2008, realisasinya hanya pada setengah blok tambak di Blok 3 Desa Dipasena Utama. Pada Januari 2009, secara sepihak perusahaan menghentikan revitalisasi dengan alasan krisis global,” paparnya.

Penghentian sepihak ini dinilai sangat memberatkan petambak plasma. Untuk mengurangi beban, sebagian petambak coba melanjutkan budidaya udang, tetapi hasilnya tak memuaskan. Bahkan, banyak petambak kini juga terbelit utang ke perusahaan, rata-rata Rp 40 juta/orang.

“Para petambak mendesak pemerintah mendorong AWS segera menyelesaikan revitalisasi sesuai dengan perjanjian. Jika perlu, kelayakan CP Prima sebagai pemenang tender penjualan saham dan aset Grup Dipasena dengan program pengamanan revitalisasi juga harus ditinjau ulang,” ujarnya.

Utang bertambah

Sementara itu, Nafian Faiz — seorang petambak plasma PT AWS — mengaku kini petambak sangat susah karena tidak bisa membudidayakan udang. Apalagi, perbaikan tambak mandek. Akibatnya, plasma yang menghuni blok 5, 8, 9 sampai 15 kini tidak ada kegiatan.

“Jadi, praktis kegiatan plasma kini tidak ada. Memang pihak inti memberikan biaya hidup Rp900.000/bulan. Tapi, kini usaha sampingan dilarang, seperti penjualan udang, memasukkan benur dan pakan karena memang sudah dilarang dan dijadikan kesepakatan antara inti dan plasma,” ujarnya

Menurut Nafian, pemberian biaya hidup Rp900.000/bulan juga dinilai sangat merugikan plasma dari segi bisnis. Pasalnya, utang plasma jadi bertambah kepada perusahaan inti. “Utang awal plasma saat manajemen baru mengambil alih DCD (Dipasena Citra Darmaja) Rp20 juta/plasma dan sekarang ditambah Rp900.000/bulan, plus listrik dan lain-lain. Sedangkan hingga kini banyak petambak belum bisa melakukan budidaya udang,” keluhnya. Umarwanto

CP Prima: Kami Belum Tahu Kapan Dilanjutkan Lagi

CP Prima menampik tudingan perwakilan para petambak terkait program revitalisasi perseroan. Bahkan, perseroan menegaskan program revitalisasi tambak PT AWS masih berjalan, meski dilakukan secara bertahap.

“Akibat krisis ekonomi global yang juga menerpa semua sektor, menyebabkan perusahaan harus menerapkan manajemen keuangan yang lebih hati-hati. Kebijakan tersebut menyebabkan revitalisasi terhambat,” kata Manajer Komunikasi PT CP Prima, Fajar Reksoprodjo kepada Agro Indonesia.

Menurut Fajar, kebijakan tersebut sangat wajar mengingat tidak hanya sektor perikanan saja yang menghadapi banyak kendala. Bahkan, dibanding sektor lain, bisnis udang relatif masih eksis. Apalagi program revitalisasi tambak seluas 16.250 ha sesungguhnya punya jadwal dan tidak mungkin selesai dalam 1 hingga 3 bulan. Dan itu bukan proyek kecil, sehingga membutuhkan tahapan-tahapan. “Sebagai bukti telah melakukan revitalisasi dengan baik, terutama tambak Wachjuni Mandira (WM) yang berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Desember 2007 kemarin,” jelasnya.

Hanya saja, dia mengakui, sejak krisis global CP Prima telah menekan belanja modal supaya kelangsungan perusahaan tetap berjalan. Terutama menekan pembelian plastik, kincir angin, serta sarana dan prasarana tambak yang lain. CP Prima juga menerapkan prinsip kehati-hatian sehingga sementara ini revitalisasi diperlambat.

“CP Prima sedang menjadwal ulang revitalisasi. Masyarakat perlu tahu, kami satu-satunya perusahaan yang melakukan revitalisasi pertambakan udang. Penghentian itu hanya sementara. Tapi, kami belum tahu kapan program itu dilanjutkan lagi,” kilahnya.

Fajar menjelaskan, revitalisasi tambak AWS tetap berjalan dan plasma tetap bisa melakukan budidaya — yang disebut budidaya antara — selama proses revitalisasi. Artinya, budidaya tidak sebesar saat normal karena hanya menunggu selesai revitalisasi. Berdasarkan Perjanjian Kerja Sama (PKS) CP Prima dengan petambak plasma, Desember 2007 disebutkan, perusahaan akan merevitalisasi sebanyak 16 blok tambak di delapan desa di lokasi PT Aruna Wijaya Sakti (AWS) seluas 16.250 ha.

“CP Prima tetap peduli dengan plasma. Terbukti, selama transisi proses revitalisasi, petambak plasma melakukan budidaya dengan mendapatkan biaya hidup dari perusahaan sebesar Rp 900.000/bulan,” ujarnya.

Selain bantahan dari pihak perusahaan, dari kalangan petambak yang tergabung dalam P3W sendiri tidak semuanya mengeluh dan resah. Zamroni contohnya. Ketua Bidang Ekonomi P3W AWS ini mengatakan, petambak harus mengerti tentang kesulitan perusahaan. Pasalnya, dengan berbagai masalah yang dihadapi CP Prima — terakhir akibat hantaman krisis global — perusahaan harus berhati-hati. Apalagi yang menyangkut revitalisasi memang tidak semudah apa yang dikatakan banyak orang.

“Revitalisasi tambak dengan luas yang dimiliki AWS membutuhkan banyak tenaga kerja. Dan kenyataannya, perusahaan kontraktor yang terpilih tidak mampu menyediakan tenaga kerja tersebut. Kondisi ini juga menjadi penghambat,” ujarnya.

Dia mengakui, walaupun revitalisasi terhambat, namun prospek udang masih sangat menggiurkan. Terbukti, perbankan siap mengucurkan dananya. Selain Bank Syariah Mandiri, belum lama ini para petambak plasma juga telah meneken MoU dengan BRI. Intinya, bank milik pemerintah tersebut siap mengucurkan pinjaman terhadap 5.000 plasma dengan pinjaman hingga Rp126,6 juta/plasma. “Kami berharap petambak tetap sabar. Apalagi perusahaan tidak mungkin melakukan revitalisasi secara serentak pada tambak seluas 16.250 ha,” ujarnya. Umarwanto

18 September 2009

DIPASENA TEMPO DOELOE(II)

Ribuan Penambak Dipasena Mendatangi Kejagung

 Unjuk rasa penambak Dipasena di Kejagung.
09/05/2001 06:56
Liputan6.com, Jakarta: Ribuan penambak udang Dipasena Lampung berunjuk rasa di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (8/5) siang. Mereka menuntut Kejagung segera menyeret pemilik Dipasena, Sjamsul Nursalim, ke pengadilan. Pasalnya, Sjamsul dinilai kerap mengabaikan hak-hak penambak. Para penambak udang yang tergabung dalam Perhimpunan Petani Plasma Udang Windu (P3UW) PT Dipasena Citra Darmaja, Rawa Jitu, Lampung, datang dengan menggunakan 24 unit bus. Semula mereka memaksa masuk Gedung Kejagung untuk menemui Jaksa Agung Marzuki Darusman. Namun, setelah berunding dengan petugas keamanan, hanya sepuluh penambak yang diizinkan masuk. Perwakilan penambak ini diterima Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejagung Muljohardjo. Dalam tuntutannya, demonstran meminta pemerintah mengambil alih manajemen dan aset-aset PT Dipasena. Selain itu, penambak juga menuntut Dipasena menyerahkan sertifikat asli tambak kepada mereka. Sebab, selama ini para penambak hanya memiliki foto kopi sertifikat. Sementara itu, manajemen PT Gajah Tunggal yang menaungi PT Dipasena menganggap permintaan penambak P3UW berlebihan. Pasalnya, manajemen menilai para penambak yang tergabung dalam P3UW tak kooperatif dalam penyelesaian konflik di Dipasena. Sebelumnya, penambak Dipasena berungkali mengajukan tuntutan ke berbagai instansi hukum pemerintah di Jakarta. Pertama kali, para penambak Disapena berdemo ke Kantor Bea Cukai [baca: Petambak Lampung Mendemo Bea dan Cukai Jakarta]. Kemudian, ratusan penambak P3UW berunjuk rasa di Markas Besar Polri Jakarta dengan tuntutan yang sama [baca: Ratusan Petambak Dipasena Mendemo Polri]. Permasalahan yang tak kunjung selesai para penambak ini kembali berdemo ke DPR [baca: Petambak Dipasena Kembali Ke DPR]. Sebelumnya, ratusan penambak Dipasena ini juga meminta bantuan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) [baca: Tanah Dikuasai Sjamsul, Petani Dipasena ke Jakarta].(ORS/Roy Akhmad dan Agung Nugroho)

JALAN BERLIKU REVITALISASI

PLASMA MINTA PRESIDEN KAJI ULANG PROSES REVITALISASI Kompas (02/08/2007, 09:40:11)
Bandar Lampung, Kompas - Petambak udang plasma PT Aruna Wijaya Sakti (dulu plasma Dipasena) mengadu kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai kegagalan negosiasi antara plasma, Konsorsium Neptune, dan Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang. Pengaduan itu disampaikan melalui surat, yang juga meminta Presiden untuk mengkaji ulang seluruh proses revitalisasi aset Dipasena. Demikian keterangan tertulis yang disampaikan delapan Kepala Kampung, delapan Ketua Lembaga Manajemen Plasma Kampung (LMPK), delapan Badan Perwakilan Kampung, dan Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) Dipasena kepada Kompas, Senin (30/7). Juru bicara petambak plasma sekaligus Ketua LMPK Bumi Dipasena Utama Thowilun mengatakan, laporan kepada Presiden itu disampaikan melalui surat tertanggal 24 Juli 2007. Melalui surat itu, plasma melaporkan kepada Presiden bahwa pertemuan antara plasma, inti, dan Pemkab Tulang Bawang pada 19 Juli tidak membuahkan hasil apa pun. Dalam pertemuan tersebut, Konsorsium Neptune tetap bersikeras menerapkan Perjanjian Kerja Sama (PKS) Neptune dan menolak menggunakan PKS 2006 atau PKS pemerintah. Sebaliknya, plasma hanya akan patuh dan mau menggunakan PKS 2006 sebagai dasar kerja sama kemitraan inti-plasma. Kepala Kampung Dipasena Abadi Juanda KR mengatakan, penolakan plasma cukup beralasan mengingat PKS Konsorsium Neptune sama dengan pola kemitraan masa lalu Dipasena. Pola itu tak dapat diterima plasma, karena apabila dipaksakan akan menimbulkan konflik horizontal seperti yang terjadi tahun 2000. Menurut Juanda, polemik PKS seharusnya tidak terjadi kalau sejak awal PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA) konsisten terhadap tujuan awal program revitalisasi yang dicanangkan pemerintah dan DPR. "Sayangnya, pola kemitraan inti-plasma yang telah disusun jajaran pemerintah dan plasma yang terangkum dalam PKS Pemerintah 2006 tidak secara tegas disyaratkan oleh PT PPA dalam proses penentuan investor bagi Dipasena. Untuk itu, Presiden harus mengkaji ulang seluruh proses dan langkah revitalisasi yang sudah dilakukan oleh PT PPA," ungkap Juanda. Dari Denpasar, Bali, Ketua Umum Shrimp Club Indonesia Iwan Sutanto menyatakan, konsorsium Neptune selaku inti di tambak udang Dipasena (Aruna Wijaya Sakti) sebaiknya menyusun PKS bersama petambak. Penyusunan PKS baru tersebut diharapkan memecah kebuntuan revitalisasi tambak Dipasena akibat ketidaksepakatan mengenai PKS yang akan digunakan. Iwan mengharapkan revitalisasi tambak udang segera berjalan sebab bisnis udang Dipasena menghidupi ratusan ribu jiwa masyarakat Tulang Bawang, Lampung. (ryo/hln)

16 September 2009

TULISAN SEORANG WARTAWAN

jumat 11 mei 2007

Pertarungan Kepentingan di Bumi Dipasena

TULANGBAWANG – Inilah proyek besar Sjamsul Nursalim. Menjadikan Lampung tanah kelahirannya, lokasi pertambakan udang terbesar di dunia. Luas lahan konsesi yang dikuasai dari Lampung Utara (PT Dipasena Citra Darmaja/ DCD) hingga bagian tenggara Sumatera Selatan (PT Wachyuni Mandira/WM) keseluruhan mencapai 186.250 hektare.

Pada masa jayanya di tahun 1996, DCD menyumbang devisa US$ 167 juta dari ekspor udang windu. Bahkan ketika mulai krisis tahun 1997, ekspornya masih menghasilkan US$ 131 juta. Namun malang tak dapat ditolak, krisis moneter menerjang cita-citanya. Kurs rupiah terpuruk, utang yang dalam dolar pun menumpuk. Tapi apakah adil menyalahkan krisis semata? Mengapa WM yang dikelola manajemen dan dengan cara yang sama bisa tetap jalan, sementara DCD terus bergolak? Apa yang salah?

Lahan kedua perusahaan ini hanya dibelah oleh aliran Sungai Mesuji. Namun secara administratif keduanya terpisahkan oleh provinsi yang berbeda. WM berada di Provinsi Sumatera Selatan, sementara DCD di Provinsi Lampung.

Tahun 1998 WM pun sempat mengalami kerusuhan. Ini diawali sekitar 2.000 petambak plasma menuduh manajemen tidak terbuka dan menuntut berbagai hal. Maklum era reformasi, tuntutan keterbukaan dan transparansi pun sampai ke pertambakan.

Ujung-ujungnya, petambak di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) ini naik darah, mengepung kantor manajemen, menjarah sebelum membakar aset-aset perusahaan. Anehnya, di antara petambak sibuk mencari pimpinan yang acap berdialog dengan mereka di lapangan. ”Ini ada pengaruh orang luar, sebab mereka tidak kenal pimpinannya. Kalau petambak betulan, mereka kenal karena sebelum kejadian rutin ada pertemuan dengan Badan Musyawarah Plasma Sementara (BMPS),” tutur Senior Manager WM, Josef Francisico MB yang sebelumnya menangani DCD juga.

Namun reaksi aparat dan pemerintah daerah Sumatera Selatan cepat. Kurang dari tiga hari pasukan dari Marinir diterjunkan mendukung polisi dan aparat Kodim yang melokalisir lokasi. Hukum ditegakkan, para perusuh ditangkap dan diproses secara hukum sehingga masalahnya segera selesai.

Bahkan sekarang hidup DCD bertahan karena pengolahan udang yang dihasilkan WM yang rata-rata 20 ton per hari dari 7.451 tambak. Lahan yang dicadangkan untuk WM berkembang hingga 170.000 Ha, kini baru 42.000 lahan bersih tambak ”Awal tahun 2002 akan mulai pembangunan cold storage plan III kemudian dermaga ekspor. Sebab kalau dibawa ke DCD kendalanya pengangkutan yang tiga kali biayanya melalui air dan terlebih masalah kualitas,” terang General Manager WM, Anta Winarta ketika SH menemui di kantornya.

Masalah Perut Di DCD, bara konflik mulai timbul tahun 1996-1997 yang dipicu oleh masalah perut. Meski nyaris semua kebutuhan sembilan kebutuhan bahan pokok (sembako) petambak plasma dipenuhi, tak ayal krisis dirasakan karena mahalnya barang-barang. Ini memicu petambak mempermasalahkan Biaya Hidup Bulanan Petambak (BHBP).

”Dapat BHBP dan sembako, kalau dilihat dari situ, kami cukup sejahtera dibanding orang luar waktu itu. Tapi kehidupan ke depan mau bagaimana? Karena kenyataan lebih dari 10 tahun kami tidak punya apa-apa. Tidak mungkin hanya Rp 150.000 per bulan, sementara biaya hidup terus bertambah. Ini pun tidak pernah berubah sejak tahun 1992,” keluh Sekretaris Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW), Nafian Faiz.

Sementara manajemen merasa harusnya BHBP itu mencukupi mengingat sembako sudah diberikan, termasuk beras hingga susu. Ikan Nila dari kanal bisa sebagai lauk, lahan di pinggir tambak bisa untuk bercocok tanam.

Sehingga ketika itu konflik diredam dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) pemimpin cikal bakal P3UW, meski BHPB berhasil naik dua kali lipat. Bagai menyimpan bara dalam sekam, konflik kembali muncul tahun 1998. Kembali perut yang dijadikan alasan hingga disepakati naik dari Rp 300.000 menjadi Rp 500.000 per Kepala Keluarga (KK). Ditambah masalah harga udang yang semula ditetapkan sepihak, kini petambak ikut menetapkan diwakili P3UW yang berdiri resmi 30 September 1998. Tahun 1999 konflik kian membara dipicu oleh PHK Ketua P3UW, Sari, bersama sekitar 300 pengurus lainnya. Rentetan masalah pun bermunculan, mulai dari masalah kemitraan yang dirasa tidak adil hingga utang petambak.

”Harusnya kemitraan tidak ada PHK. Kewajiban kami seperti buruh, tapi hak-hak seperti mitra. Tapi hak-hak ini pun tidak gratis,” ujar Nafian. Padahal manajamen mengatakan telah menyediakan segala keperluan dan peralatan hidup petambak dari rumah hingga segala isinya. Ibaratnya cobek pun disediakan. Termasuk pelayanan kesehatan dan pendidikan, kendati itu nantinya diperhitungan ke dalam rekening petambak. Masalah terus bergulir bagai bola salju yang terus membesarkan kecurigaan kedua belah pihak. Urusan kredit investasi dan kredit modal kerja yang sebagian dolar menggelembung ketika dirupiahkan sangat dipertanyakan.

Lantas pernah diupayakan membentuk Tim Independen yang terdiri dari beberapa akademisi dikoordinir Nanang Trenggono dari Universitas Lampung (Unila). Saat itu sudah berhasil mendudukkan manajemen dengan P3UW bersama penasihat hukum dari LBH Bandar Lampung. ”Ketika ketemu pemda jadi kacau. Sehingga tim menjadi vakum,” ungkap Penasihat Hukum P3UW dari LBH Bandar Lampung, Watoni Noerdin, ketika ditemui dikantornya.

Maka konflik pun memuncak menjadi kerusuhan pada tanggal 1 Maret 2000 ketika Sjamsul Nursalim hendak berdialog dengan para petambak. Kepanikan di tengah massa yang merangsek memicu anggota Brimob mengeluarkan tembakan mengenai seorang petambak. Segera menyulut kemarahan massa yang berakibat dua anggota Brimob tewas disertai kerusuhan mencekam. ”Pasca kejadian ini, LBH mendorong pemda untuk mengutamakan masalah Dipasena karena menyangkut hajat hidup orang banyak dan sangat berpengaruh terhadap eskalasi stabilitas di Lampung, tapi tidak ada tanggapan,” ujar Watoni Noerdin.

Efek Karambol Seperti efek karambol, maka perselisihan yang bermula Inti-Plasma berrentet ke mana-mana. Dipicu pendekatan penyelesaian masalah yang berbeda hingga kecurigaan menjadi kolaborator Inti, P3UW berselisih dengan petambak plasma yang lain, seperti Tim Pelaksana Perjuangan Petani Tambak (TP3T), Plasma Peduli dan Serikat Petambak dan Nelayan (SPN). Hingga puncaknya terjadi pengusiran dan pembakaran rumah sekitar 200 petambak yang bukan anggota P3UW di bulan November 2000. Namun P3UW mengaku bukan mereka yang melakukannya.

”Tidak ada kebijakan organisasi untuk melakukan pengusiran. Prinsip perjuangan kami berbeda dengan mereka, sehingga kami tidak mau melibatkan mereka. P3UW tahan susah dan dalam hal prinsip kami tidak mau kompromi,” jawab Nafian Faiz.

Bukan hanya sesama petambak plasma yang menerbitkan kecurigaan bagi P3UW. Karyawan pun khususnya yang tinggal di areal tambak seperti di Blok IV turut menjadi sasaran pengusiran. Dengan jumlah massa ribuan, isu yang berbau manajemen dianggap tidak populer di mata anggota. Sehingga tak mudah menyamakan persepsi di antara sekian banyak massa. Hal itu diakui Watoni Noerdin. Katanya, ”Di sana banyak pihak, bisa bias. Di sana variasi manusianya beragam dan mungkin banyak kepentingan yang membuat bias.”

Bom Waktu Sebagai ajang perebutan politik, DCD merupakan lahan empuk yang memenuhi dua persyaratan. Dari segi ekonomi maupun dari segi massa yang lebih dari 7.000 petambak plasma itu. Apalagi udang windu jenis black tiger yang dibudidayakan termasuk komoditi ekspor unggulan. Lahan yang dikuasai dengan infrastruktur terpadu mulai dari power plan (sumber daya listrik) 160 Mega Watt, pabrik pakan 15.000 ton, lebih dari 25.600 tambak pembesaran udang, cold storage 2.340 ton sampai pengapalan (Enterpot Produksi untuk tujuan Ekspor). Kurang apalagi? Tidak heran bila mulai dari Keluarga Cendana sampai kelompok konglomerat saingan Sjamsul Nursalim disebut-sebut berkepentingan merebut lahan itu. Itu pun masih ditambah pihak yang berkepentingan atas nama keamanan untuk melanggengkan ‘periuk nasinya’ di sana. Sebab kalau masalah Dipasena selesai atau tenang dan damai, tentu keberadaan aparat keamanan tak dibutuhkan lagi. Maka ada yang berkepentingan agar Bumi Dipasena terus bergolak guna mempertahankan keberadaan mereka di sana.

Karenanya Watoni Noerdin mengatakan, ”Kami khawatir, P3UW menjadi komoditas politik. Sebab dari sektor ekonomi pendapatan dari udang, besar. Dari sektor massa pun, besar dengan lebih dari 7.000 anggota.”

Kepada SH, Sekretaris P3UW Nafian Faiz mengaku memang pernah ada ormas dan partai politik tertentu yang menawarkan bantuan. Namun janji bantuan tidak pernah ada yang beres, sehingga P3UW kecewa. ”Kami belum merasakan pihak-pihak itu membantu. Jadi kami tidak mengharapkan orang luar,” tegas Nafian.

Namun dari sini jelas terlihat, Dipasena sasaran empuk. Ini bagai bom waktu yang siap meledak, kalau tidak segera ditangani secara nasional. Waktunya tak lama lagi, sebab 2002 sudah diambang pintu. Lebih-lebih mendekati ajang politik Pemilihan Umum Tahun 2004. Sudah barang tentu, para kontestan bersiap-siap dari sekarang mengincar.

Terlepas dari perselisihan penyerahan aset dari Sjamsul Nursalim kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yang jelas ini adalah aset negara yang harus diselamatkan karena puluhan ribu orang bergantung kepadanya. Sebab masalah penyerahan aset, termasuk Grup Dipasena di dalamnya sudah mirip ayam dan telur. Tentu kita tidak bisa terus berputar-putar, bukan saatnya mencari-cari kesalahan lagi. Sebelum lebih hancur, pemerintah, silakan beradu cepat dengan para pembawa kepentingan ini! (bersambung)

Sinar Harapan edisi Selasa, 6 November 2001

DIPASENA TEMPO DOELOE

TULANGBAWANG – Kulkas, televisi, Video Compact Disc (VCD) Player nyaris menjadi pemandangan sehari-hari yang akan diangkut kapal cepat (speed boat) ke pemukiman para petambak Bumi Dipasena. Tentu ini membuat hati bertanya-tanya setelah sepanjang puluhan kilometer perjalanan tergoncang-goncang di jalan penuh lubang dan tak rata.

Tanggul Penangkis nama tempat itu. Di sini bersandar beberapa kapal cepat (speed boat) yang menjadi taksi air. Inilah satu-satunya alat angkut ke pemukiman petambak, karena rumah-rumah mereka berada di pinggir tambak dengan jalur-jalur kanal (semacam sungai) buatan.

Adalah Kanal Umum di mulut Tanggul Penangkis itu yang menghubungkan aliran Sungai Mesuji di perbatasan Sumatera Selatan dengan Sungai Tulangbawang. Dari Kanal Umum ini terbentang belasan ribu petak-petak tambak pada 16 blok.

Setidaknya ada 16 kanal yang memisahkan blok-blok areal tambak itu. Masing-masing blok terkecil (Blok Nol atau Blok Kosong) 194 lot, 400 lot, 500 lot, 600 lot, hingga terbesar 700 lot. Tiap blok masih ada kanal-kanal kecil yang dinamakan jalur yang memisahkan satu jalur tambak dengan jalur lain dalam satu blok.

Pada jalur inilah berjajar rumah para petambak. Di salah satu rumah panggung itu diperdengarkan VCD lagu-lagu rohani. ”Ini hasil tebar mandiri,” ujar Tri Winarno salah satu petambak plasma PT Dipasena Citra Darmaja (DCD) ketika SH memasuki rumah panggungnya. Ia mengaku dari hasil tebar mandiri yang sekarang dilakukan olah para petambak plasma, ia dapat membeli VCD beserta televisi ukuran 24 inci. Belum lagi sepeda motor yang diojekkan, kulkas dan berbagai barang yang tergolong mewah itu.

Demikian pula, ketika SH mendatangi kediaman Ketua Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) yang baru, Abdul Syukur. Televisi berwarna dan VCD Player seakan menjadi perangkat standar pada rumah-rumah panggung itu. Ini adalah potret sekian petambak yang berhasil membudidayakan udang secara mandiri sesuai dengan keputusan Gubernur Lampung per tanggal 8 November 2000. Di antara mereka ada sekitar 7.000 petambak plasma anggota P3UW, tentu tak semuanya berhasil. Namun paling tidak, ada gambaran umum peningkatan kesejahteraan yang mereka rasakan. ”Tentu mereka bisa membeli barang-barang itu karena mereka tidak lagi membayar cicilan utang dan bunganya,” lontar seorang petambak yang minta identitasnya tidak disebutkan.

Lembaga Ekonomi ”Kami merasakan nikmatinya tebar mandiri. Dengan tebar mandiri ini kami mengelola ekonomi kerakyatan. Sekarang bagaimana memanfaatkan suasana seperti ini sebesar-besarnya untuk kepentingan anggota. Maka sebelum ada keputusan, kami akan memanfaatkan tebar mandiri,” ujar Nafian Faiz, yang terpilih kembali menjadi Sekretaris Badan Pengurus Pusat (BPP) P3UW 10 Oktober lalu.

Ia menjelaskan, saat ini organisasi yang membawahi 8 infra (setiap dua blok memiliki satu infra yang sekaligus menjadi wilayah administratif desa) ini telah memiliki Lembaga Ekonomi (LE) P3UW.

Kantor LE-P3UW yang terletak di Tanggul Penangkis itu kini menjual benur, pakan dan obat-obatan untuk memasok tebar mandiri. ”Lembaga ekonomi ini nantinya merupakan koperasi plasma, sekarang dalam persiapan tahap akhir ke arah sana. Lembaga Ekonomi ini diharapkan menjadi tulang punggung perekonomian plasma,” tutur Nafian yang ditemui di Sekretariat P3UW di Blok VI Bumi Dipasena itu.

Padahal ide kemitraan inti-plasma pun semula diharapkan untuk menumbuhkan perekonomian rakyat ini. Sebab dengan kemitraan, plasma nantinya akan menjadi pemilik tambak yang dikelolanya setelah kredit investasi dan kredit modal kerjanya lunas, bukan orang upahan yang bergantung pada alat produksi sang majikan. Sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 334 tahun 1986 dan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 509 tahun 1995. ”Tapi riil di lapangan, yang namanya kemitraan tidak pernah membuat kami sejahtera. Itu yang membuat kawan-kawan berpikir bagaimana caranya untuk meningkatkan derajat hidup. Tapi tidak tertutup kemungkinan kemitraan itu ditata ulang,” tukas Nafian.

Terlepas dari niat baik kemitraan itu, yang terang saat ini di lapangan sudah terjadi proses pendidikan kemandirian ekonomi rakyat. Nafian sepakat menjalankan perekonomian inilah yang diutamakan. ”Bisa kita bicarakan. Asal perusahaan jangan bicara soal birokrasi dulu. Tapi apa yang ke depan bisa kita harapkan. Karena ada trauma masa lalu, kami pernah disakiti, di-PHK (pemutusan hubungan kerja) dan sebagainya,” tandas petambak plasma yang terkenal vokal ini. Pihak manajemen pun sepakat dengan menjalankan perekonomian dulu dan menyingkarkan masalah pokoknya dulu. Mereka mengaku tidak hanya setuju dengan tebar mandiri, tapi juga bersedia menyediakan pakan dan benurnya.

”Pakan dan benur kami sediakan secara cash atau kredit lewat koperasi, asal udangnya dijual ke perusahaan. Perusahaan akan membelinya dengan harga pasar. Tapi ini tidak jalan,” jelas Pimpinan Kantor Lokasi CDC, Ferry L. Hollen yang menerima SH di kantor pusat DCD di Jakarta. Menurut penelusuran Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, ternyata memang ada pembatasan mutu yang dipersyaratkan manajemen. Ini bisa dimaklumi karena udang black tiger itu merupakan komoditi ekspor yang perlu memenuhi persyaratan ukuran (size) tertentu. ”Pembatasan-pembatasan ini bisa memecah belah P3UW, sehingga tidak diterima. Sehingga penjualan kepada Inti hanya berlangsung sebentar. (Petambak) Plasma langsung menjualnya ke pasar bebas karena dianggap menguntungkan, semua ukuran diterima,” terang Kepala Operasional LBH Bandar Lampung, Watoni Noerdin yang juga menjadi Tim Penasihat Hukum P3UW.

Pendangkalan Kalau mau jujur sebenarnya tebar mandiri baru menyelamatkan ‘masalah perut’ sebagian dari petambak plasma, namun tak sepenuhnya menyelesaikan masalah DCD. Tebar mandiri bisa dibilang sekedar menunda masalah. Tebar mandiri baru sekedar memanfaatkan petak-petak tambak, namun tidak menggerakkan roda perusahaan. Sebab dalam struktur DCD ada enam anak perusahaan, yaitu dua pembibitan benur yang dilakukan PT Biru Laut Khatulistiwa dan PT Triwindu Grahamanunggal, dua tambak pembesaran oleh DCD dan PT Wachyuni Mandira, pabrik pakan PT Bestari Indoprima dan pengapalan PT Mesuji Pratama Lines. Kesemuanya menurut Perjanjian Pengembalian dana BLBI dengan jaminan aset (Master of Settlement and Acquisition Agreement/MSAA) ”Biaya operasinya sangat besar. Untuk listrik di jalur (tambak) saja 76 persen. Maka secara cashflow (arus kas) terlalu berat,” kata Ferry lagi.

Masalahnya bukan sekedar itu saja, tapi lebih pada efek bergandanya. Setiap satu komponen perusahaan macet, berarti ada sekian ratus bahkan ribu tenaga kerja yang menganggur, tidak ada pendapatan dari perusahaan, tidak ada pajak untuk pemerintah, tidak ada pembelanjaan untuk pasar sekitarnya, dan seterusnya. Ujung-ujungnya merugikan perekonomian secara keseluruhan. Lebih dari itu, macetnya perusahaan ini juga mengakibatkan tidak terawatnya kanal-kanal. Ilalang setinggi manusia, limpahan lumpur muara Sungai Mesuji maupun Sungai Tulang Bawang dan sebagainya.

”Dengan tidak terawatnya saluran pemasukan dan pengeluaran akan sangat mempengaruhi terjadinya pendangkalan dan kami khawatir air yang masuk tidak layak untuk sebuah tambak. Posisinya sekarang, areal tambak ini lebih tinggi dari air laut, sehingga sirkulasi air tidak memadai. Ini akan sangat mempengaruhi kualitas udang yang dihasilkan,” papar Watoni, yang sebagai penasihat hukum turut mengikuti perkembangan kliennya di lapangan. Hal yang senada diutarakan P. Hutagalung, Koordinator Plasma Peduli yang terusir dari Blok VIII karena tidak sealur perjuangan dengan P3UW. Ia berpendapat, pemeliharaan kanal merupakan hal yang tidak bisa ditawar, karena budidaya udang membutuhkan tingkat keasaman (ph balance) tertentu.

Ia mengaku tidak lagi melihat mesin pengeruk yang biasa digunakan untuk mengatasi pendangkalan kanal. Ia juga tidak melihat pemeliharaan pemasukan air tawar dari Sungai Mesuji dan keluar-masuk air laut yang dikontrol secara otomatis. Artinya, dengan tebar mandiri baru sebagian petambak plasma yang terselamatkan untuk sementara ini. Masih jauh panggang dari api untuk menyelesaikan masalah Dipasena yang sudah bertumpuk-tumpuk dari tahun 1998 itu. Tebar mandiri belum memberi solusi bagi sekitar 11.000 karyawan, petambak lain yang tidak sealur dengan P3UW, dan bergeraknya roda perusahaan. Terlepas dari perselisihan masalah penyelesaian kewajiban bos kelompok Gajah Tunggal, Syamsul Nursalim, Dipasena secara hukum berada dalam kekuasaan pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BBPN). Diharapkan BPPN-lah yang kembali mengurai benang kusut persoalan Dipasena ini.

Kepada SH, Ketua BPPN I Putu Gede Ary Suta mengatakan, ”Pemerintah juga tidak ingin proses produksi terhenti. Buat apa kita melihat pabrik gagal produksi semua? Kita harus menghidupkan pabrik-pabrik, karena penggangguran sudah semakin meningkat, recovery rate juga rendah. Apa mau jadi besi tua? Kan tidak.”

Maka Putu mengajukan konsep langkah-langkah yang mempercepat restrukturisasi. Karena banyak proyek-proyek di BPPN yang banyak menyerap tenaga kerja, yang investasinya sudah dilakukan, dan hanya tinggal di-restructure sudah bisa berjalan lagi. ”Nah sekarang ini kita harus mengambil langkah-langkah dengan dukungan dari pemerintah dan pimpinan kita untuk kurang lebih memberikan payung dalam pelaksanaannya. Kita membutuhkan suatu payung yang bisa memayungi, melindungi langkah-langkah yang akan diambil. Sehingga hambatan-hambatan atau hal-hal yang memperlambat restrukturisasi bisa diatasi,” tutur Putu. Mudah-mudahan upaya ini bukan sekedar menegakkan benang basah. Semoga! (bersambung)

Senin, 5 November 2001 Copyright © Sinar Harapan 2001