07 Mei 2010
PEMBUKAAN TAMBAK PERLU DIHENTIKAN
PEMBUKAAN TAMBAK PERLU DIHENTIKAN
Rabu, 10 Maret 2010 | 03:56 WIB
Jakarta, Kompas - Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak akan menambah luasan tambak karena berisiko merusak hutan bakau serta memperberat pencemaran dalam proses budidayanya.
Namun, produksi udang ditargetkan naik dari 400.000 metrik ton menjadi 699.000 metrik ton pada 2014. Peningkatan produksi akan dicapai dengan merevitalisasi 180.000 tambak telantar tidak produktif.
Direktur Perbenihan Kementerian Kelautan dan Perikanan Ketut Sugana menyatakan, pertambahan luasan tambak udang sesuai dengan data berkurangnya luasan hutan bakau. Konversi hutan bakau menjadi tambak merupakan salah satu penyebab utama kerusakan hutan bakau.
”Dalam dua tahun, luasan tambak bertambah dari 420.000 hektar menjadi 450.000 hektar. Data menunjukkan, penambahan luas tambak menjadi salah satu penyebab kerusakan hutan bakau. Karena itu, pencapaian target kenaikan produksi udang itu tidak dengan membuka tambak baru,” kata Ketut seusai membuka Shrimp Aquaculture Dialogue di Jakarta, Selasa (9/3).
Ia menyatakan, dari 450.000 hektar tambak intensif dan tradisional, 40 persen di antaranya telantar dan tidak berproduksi maksimal. ”Revitalisasi tambak yang rusak lebih aman bagi lingkungan dan kelestarian hutan bakau. Revitalisasi harus dilakukan baik pada tambak telantar yang dikelola secara tradisional ataupun intensif,” kata Ketut.
Dia membenarkan bahwa di antara 180.000 hektar tambak yang telantar terdapat tambak intensif oleh industri perikanan besar, termasuk 16.000 hektar tambak udang sebuah perusahaan di Lampung. ”Pemerintah memberikan tenggat tiga bulan untuk merevitalisasi tambak mereka. Jika tidak selesai, akan diambil langkah lain untuk melanjutkan revitalisasi,” katanya.
Staf Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Mida Novawanty Saragih, menyatakan, industri tambak intensif berskala besar adalah perusak utama hutan bakau. ”Tambak 16.000 hektar di Lampung merusak hutan bakau bukan hanya saat dibuka, melainkan juga dalam proses pemberian pakan yang mencemari air sehingga bakau mati. Tambak yang ditelantarkan itu juga menyebabkan banjir yang melanda 25 kecamatan,” katanya.
Saragih menyatakan, ”Industri tambak tidak menghasilkan keuntungan berarti bagi Indonesia dan para petani tambak selama industri tambak udang Indonesia dikuasai satu kelompok usaha saja. Melalui jaringan perusahaannya, dia menguasai 60 persen produksi udang nasional, juga mendominasi industri udang di 70 negara. Tambak hanya menambah kerusakan lingkungan, tanpa memperbaiki kesejahteraan rakyat,” kata Saragih.
Petani tambak plasma asal Lampung yang juga aktivis Perkumpulan Petambak Plasma Udang Windu, Nafian Faiz, menyatakan, target pemerintah menetapkan standardisasi dan penambahan produksi udang nasional ironis dengan fakta ribuan petambak plasma yang kehilangan pendapatan karena tambak ditelantarkan pengelola plasma.
”Di Lampung, 4.000 petambak telantar karena 11 blok tambak plasma belum direvitalisasi. Standardisasi produksi tidak ada maknanya jika tidak meningkatkan kesejahteraan petambak,” kata Nafian. (ROW)
SERTIFIKASI TAK NAIKKAN HARGA
Rabu, 10 Maret 2010 | 03:46 WIB
Jakarta, Kompas - Pelaku budidaya udang wajib penuhi standardisasi internasional. Kewajiban itu semakin kuat seiring keputusan Aquaculture Stewardship Council membentuk lembaga sertifikasi udang tahun 2011.
Aquaculture Stewardship Council (ASC) di Jakarta, 9-11 Maret, menyusun finalisasi standardisasi budidaya dengan melibatkan negara produsen, pelaku bisnis, dan ilmuwan.
Fisheries Program Leader Word Wild Fund Indonesia Imam Musthofa menjelaskan, prinsip standardisasi antara lain budidaya ramah lingkungan, perlindungan pekerja, pengelolaan kesehatan udang, pengelolaan stok indukan, dan penyakit.
Menurut Ketua Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu PT Aruna Wijaya Sakti Nafian Faiz, sertifikasi udang tak memberikan imbal balik pada peningkatan kesejahteraan petambak. Harga udang petambak tetap rendah meski memenuhi persyaratan.
Direktur Perbenihan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Ketut Sugama mengakui, standardisasi yang digulirkan ASC sulit diterapkan sepenuhnya di Indonesia. Ini karena petambak udang nasional didominasi oleh petambak rakyat dengan lahan sempit dan teknologi sederhana.
”Pemerintah berupaya meminta kelonggaran waktu pelaksanaan sertifikasi bagi petambak kecil,” ujar Ketut.
Ketua Shrimp Club Indonesia Iwan Sutanto mengingatkan pemerintah untuk melindungi petambak kecil agar tidak terlibas persaingan pasar. Indonesia telah menerapkan standardisasi dan sertifikasi budidaya udang yang mengacu standar internasional. Namun, sertifikasi itu belum mendunia. (ROW/LKT)
KIAMAT" BUKAN 2012 TAPI 2013
Selasa, 09/03/2010 13:48 WIB
Denpasar - LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) memperkirakan puncak siklus badai matahari bukan terjadi pada 2012. Peristiwa yang kerap dihubungkan dengan 'hari kiamat' itu bakal terjadi pada Oktober 2013.
Demikian disampaikan Kepala Bidang Aplikasi Geomagnet dan Magnet Antarika Lapan Clara Yono Yantini pada sosialisasi mengenai Fenomena Cuaca Antariksa 2012 hingga 2015 di Kampus Universitas Udayana, Jl Sudirman, Denpasar, Selasa (9/3/2010). Sosialisasi ini dihadiri puluhan ilmuwan dari Asia Tenggara, Jepang dan Rusia.
Perkiraan ini berbeda dengan isu kiamat 2012 yang diramalkan Suku Maya. Masyarakat pun banyak menghubungjan antara badai matahari tersebut dengan isu kiamat 2012.
"Siklus matahari terjadi pada rentang waktu 2010-2015. Puncak siklusnya, menurut perkiraan Lapan, terjadi pada bulan Oktober 2013. Penelitian oleh negara lain juga memperkirakan terjadi pada pertengahan 2013," kata Clara yang juga sebagai Peneliti Bidang Matahari dan Antariksa Lapan.
Lapan menjelaskan badai matahari akan mundur pada 2013 karena hingga saat ini belum menemukan tanda-tanda adanya aktivitas matahari yang ekstrim sebagai puncak siklus.
Siklus matahari terjadi rata-rata sekitar 11 tahun. Siklus ini menunjukkan adanya masa awal, puncak dan akhir siklus. Saat ini, matahari sedang mengalami siklus ke-24. Saat, puncak aktivitas matahari terjadi ledakan besar di matahari.
"Ini tentu mempengaruhi kondisi cuaca antarika, termasuk menyebabkan gangguan di Bumi," kata Clara.
Efek akibat aktivitas puncak matahari ini menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Suhu bumi akan meningkat dan iklim berubah. Partikel-partikel matahari yang menembus lapisan atmosfer bumi akan mempengaruhi cuaca dan iklim bumi. Dampak yang paling ekstrim menyebabkan kemarau panjang. "Ini yang masih dikaji para peneliti," ujar Clara.
(gds/djo)
Petambak Plasma Protes Dominasi Swasta Di Industri Udang
Selasa, 09 Maret 2010 | 10:18 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta - Petambak plasma memprotes lemahnya kontrol pemerintah dalam industri udang. Mereka menilai dominasi sektor swasta terlalu besar dan mengendalikan sektor tersebut.
“Pemerintah seharusnya punya kontrol sendiri. Jangan biarkan industri udang ini dikendalikan oleh sektor swasta,” kata Riza Damanik dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan di Jakarta, Selasa (9/3).
Riza menyesalkan tak adanya perhatian pemerintah di sektor industri udang. “Kita ini eksportir, tapi standar kualitas udang dikendalikan oleh negara-negara importir melalui sertifikasi,” katanya.
Salah satu bukti dari lemahnya kontrol pemerintah itu menurut Riza adalah terus melemahnya harga komoditas udang ekspor kita. “Tahun 2005, harga rata-rata udang di pasar luar negeri adalah US $ 11,9, sementara tahun 2008 harganya sudah turn ke kisaran US $ 6,8,” kata Riza.
Hari ini, sejumlah organisasi masyarakat akan menggelar aksi teatrikal di depan hotel Gran Melia, Kuningan, jakarta Selatan, tempat berlangsungnya shrimp aquaculture dialoque. Bersama KIARA aksi diikuti oleh gabungan Petambak Indramayu, Perkumpulan Petambak Plasma Udang Windu (PU3UW), Petambak Dipasena Lampung, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Bina Desa.
Dalam aksi ini mereka akan menuntut penghentikan ekspansi, maksimalkan tambak udang eksisting, dan melakukan penindakan terhadap perusahaan yang terbukti bersalah melakukan perusakan lingkungan (mangrove). Mereka menyesalkan keterlibatan pemerintah yang seharusnya tidak mendukung forum tersebut.
PETAMBAK PLASMA DUKUNG PROGRAM REVITALISASI CP PRIMA
Senin, 08 Maret 2010 12:40 WIB 0 Komentar
Penulis : M Naviandri
BANDAR LAMPUNG--MI: Para petambak plasma di Lampung yang tergabung dalam PT Aruna Wijaya Sakti mendukung program revitalisasi tambak secara total oleh PT Central Proteinaprima Tbk (CP Prima). Selain itu, mereka menyatakan masih membutuhkan keberadaan perusahaan yang kini mengelola penambakan udang eks Dipasena itu.
Perwakilan petambak udang PT Aruna Wijaya Sakti (AWS) Ferly Gandhy mengatakan pihaknya masih semangat mengerjakan tambak mereka dan perusahaan inti menyiapkan sarana dan prasana yang menjadi kebutuhan material dalam mendukung pelaksaaan revitalisasi tambak.
"Petambak plasma tetap mengharapkan program revitalisasi yang dilakukan CP Prima terus berlangsung, karena dari program yang sudah berjalan telah memberi keuntungan bagi petambak plasma," kata Ferly di Bandar Lampung, Senin (8/3).
Ferly yang mewakili 15 kepala kampung petambak plasma menyatakan hingga saat ini keberhasilan budidaya udang yang berjalan telah meningkatkan kesejahteraan para petambak yang menjadi plasma perusahaan eks Dipasena itu.
Ia juga menegaskan seluruh program revitalisasi dan perjanjian kerjasama kemitraan yang ada dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama dari hasil-hasil pembahasan dan rapat bersama, sehingga segala persoalan sudah diketahui secara menyeluruh oleh kedua belah pihak.
Petambak plasma, lanjut Ferly, dengan dukungan perusahaan inti bersama-sama akan mengamankan program yang sedang berjalan. Perwakilan penambak plasma siap menjelaskan kepada pihak-pihak terkait yang berhubungan dengan permasalahan kemitraan, kondisi sosial ekonomi, dan keberhasilan yang telah dicapai.
"Berdasarkan kenyataan dan pernyataan di atas, kami perwakilan petambak plasma, meminta kepada perusahaan inti segera mengupayakan pencairan atau mencarikan kredit berupa KI (kredit investasi) dan KMK (kredit modal kerja) dari lembaga keuangan seperti, BRI, BNI, dan lain-lain," kata Ferly.
AWS merupakan merupakan salah satu dari tiga kawasan pertambakan yang dikelola CP Prima. Dua kawasan penambakan lain dikelola oleh PT Central Pertiwi Bahari (CPB) dan PT Wahyuni Mandira (WM). Total luas ketiga tambak tersebut mencapai 59.000 hektare. (VI/OL-02)
LSM DAN PETAMBAK TOLAK STANDARISASI UDANG
Selasa, 09 Maret 2010, 10:24:38 WIB
Laporan: Ari Purwanto
Jakarta, RMOL. Koalisi LSM dan petambak udang, yang terdiri dari, WALHI, KIARA, Bina Desa, KOMPI dan P3UW, menolak standarisasi udang yang akan dibahas dalam Shrimp Aquaculture Dialogue (Dialog Budidaya Udang), yang digelar di Jakarta hari ini (Selasa, 9/3) sampai besok (Rabu, 10/3).
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) M Riza Damanik menyatakan aksi penolakan ini dilakukan sebagai respon atas persoalan akibat pertambakan udang skala industri dan termasuk risiko di masa mendatang.
Sebagaimana diketahui, upaya pemerintah Indonesia meningkatkan produksi perikanan, utamanya, budidaya udang hingga 353 persen dalam periode 2010-2014 adalah berita buruk. Laju perluasan tambak berbanding lurus dengan produksi, akan tetapi berbanding terbalik dengan hasil penjualan udang Indonesia di pasar internasional yang terus menurun yakni US$11,9 per kg pada 2005 menjadi US$6,8 per kg pada 2008. Pemerintah dan petambak mengais receh dan dirundung berbagai masalah sosial dan lingkungan dari ekspor udang, sementara dunia usaha terus melakukan ekspansi.
Sementara itu Ketua Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) Nafian Faiz menegaskan harga udang di tingkat petambak ditentukan oleh perusahaan dan berfluktuasi dengan dalih kualitas atau ukuran. Bahkan harga udang dari petambak Bumi Dipasena Jaya yang paling rendah dari rata-rata harga di Cold Storage Jakarta, Surabaya dan Lampung.
“Kami terlanjur terjebak dalam skema monopoli korporasi dan merugi, apalagi mengingat harga udang windu lebih tinggi di pasar tradisional Rawajitu," ungkapnya.
Kalangan pebisnis, industri ritel hingga organisasi internasional berkeinginan menggenjot produksi budidaya dunia melalui standar bisnis perikanan Aquaculture Stewardship Council (ASC) termasuk di antaranya udang. Melalui Dialog Budidaya Udang (ShAD) yang berlangsung, 9-11 Maret 2010 ini, mereka berupaya membangun kredibilitas di sejumlah negara produsen yakni di Madagaskar, Ekuador dan Bangkok termasuk Indonesia. Shrimp Aquacultulture Dialogue (ShAD) berdalih ingin memasukkan unsur lingkungan dan sosial di dalam standarnya.
"Banyak pengusaha udang skala besar tetap leluasa melakukan kejahatan terhadap petambak plasma, perempuan dan buruh. Sertifikasi usaha tidak lebih dari mekanisme liar yang tidak di atur di bawah otoritas negara, sehingga tidak mungkin memastikan berkurangnya dampak negatif industri tambak melainkan membantu pemasaran udang di AS, Uni Eropa dan Jepang dengan label hijau,” tegas Nafian.
Lita Mamonto dari Eksekutif Nasional WALHI menambahkan moratorium industri tambak udang dapat dijalankan segera melalui tiga upaya nyata. Yakni, pertama, menghentikan pembukaan lahan budidaya udang baru, sembari rehabilitasi lingkungan dan sosial. Kedua, optimalisasi tambak-tambak yang ada dengan membenahi tambak-tambak yang sudah ada, salah satunya tambak seluas 16 ribu hektar di Bumi Dipasena Jaya, Lampung. Dan ketiga, penegakan hukum, melalui audit lingkungan dan sosial untuk menghukum industri udang yang terbukti bersalah.
“Pada prinsipnya kami mendorong pemerintah Indonesia untuk tidak terlibat dalam inisiatif standar bisnis ASC, dan mengoptimalkan regulasi negara untuk mengatur tata kelola, tata produksi, dan tata niaga udang nasional” tutup Lita. [zul]
BUDIDAYA PERIKANAN NASIONAL BUTUH REGULASI
Senin, 08 Maret 2010 19:26 WIB
Penulis : Anindityo Wicaksono
JAKARTA--MI: Berbagai kalangan mendesak pemerintah untuk segera mengeluarkan regulasi terkait standar kegiatan budidaya perikanan nasional yang mengutamakan aspek lingkungan dan kesejahteraan petambak, terutama pada tambak-tambak intensif komoditas ekspor udang.
Pasalnya, tanpa adanya intervensi dari pemerintah, pemerintah tidak dapat mengenai sanksi perusahaan-perusahaan tambak yang melanggar praktik-praktik budidaya sesuai ketentuan sertifikasi tambak yang dikeluarkan melalui skema korporasi.
Demikian mengemuka dalam jumpa wartawan tentang aktivitas tambak udang yang diadakan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) dan Perkumpulan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) di Kantor Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) di Jakarta, Senin (8/3).
Ketua Kiara Riza Damanik mengatakan, sertifikasi yang dikeluarkan importir memang sudah sangat ideal, mencakup hingga kelestarian alam, perburuhan, hingga praktik budidaya yang lestari. Namun demikian, sertifikasi yang dikeluarkan dengan skema swasta ke swasta (public to public/p to p) itu tidak memiliki ancaman sanksi hukum.
Akibatnya, proses evaluasinya menjadi tidak transparan, terutama ketika perusahaan tambak tidak menjalankan kewajibannya. "Kalau pemerintah memiliki perangkat hukum sendiri, petambak bisa melaporkan jika menemukan praktik-praktik budidaya yang melanggar ketentuan," ujarnya.
Selain itu, ujarnya, tanpa regulasi, pemerintah pun tidak bisa membatasi kegiatan monopoli usaha yang dilakukan korporasi pertambakan multinasional di Indonesia.
Seperti yang diindikasikan PT Central Proteinaprima (CP Prima) dengan mengambil alih dan mengelola sejumlah tambak udang intensif di Lampung dan Sumsel. "Lebih dari 60% produksi udang nasional per tahun dikelola oleh mereka," ujarnya.
Menurut dia, pembiaran aksi monopoli ini berimbas pada tidak terkontrolnya ekspansi industri udang. Laju konversi hutan bakau ke tambak udang di Indonesia terus meluas. Kiara menghitung, laju konversi hutan bakau ke tambak udang saat ini mencapai 6,7% per tahun.
Menurut dia, akibat belum adanya regulasi penangkal itu, dalam kurun 2005 hingga kini Indonesia pun terbukti tidak memiliki nilai tawar yang kuat untuk menjaga harga produk udang ekspor ke negara lain yang menguntungkan petambak. (*/OL-03)
Ekonomi | Korporasi
Produsen Udang Mulai Jual Aset
Jumat, 12 Maret 2010
Strategi Pendanaan
AKARTA – PT Central Proteinaprima Tbk (CP Prima) yang tengah kesulitan likuiditas mulai menjual aset-asetnya.
Kali ini, perusahaan tambak udang tersebut telah menjual aset berupa tanah anak usahanya, PT Centralwindu Sejati (CWS) senilai 103 miliar rupiah.
CWS merupakan anak usaha CP Prima yang merupakan pemasok terkemuka untuk produk- produk udang bagi namanama terkemuka di industri makanan dan jaringan ritel di dunia.
Saat ini, CP Prima memiliki 99 persen saham di CWS. “Perseroan akan menerima sejumlah dana dari transaksi yang akan digunakan untuk tambahan modal kerja usaha,” kata Direktur Utama CP Prima, Erwin Sutanto, dalam keterbukaan informasi ke Bursa Efek Indonesia, Kamis (11/3).
Selain menambah modal kerja, penjualan aset tersebut juga akan mengurangi biaya perawatan dan pemeliharaan. Hasil penjualan aset juga akan berdampak positif terhadap laba bersih tahun berjalan.
Dia menjelaskan tanah milik CWS yang dijual tersebut sebenarnya merupakan fasilitas cold storage (tempat penyimpanan) untuk proses pembekuan udang dan udang olahan di Medan, Sumatra Utara, dan Sidoarjo, Jawa Timur.
Penjualan aset tersebut sekaligus akan menghentikan kegiatan operasional CWS di kedua wilayah tersebut.
Erwin mengaku saat ini kegiatan operasional di tempat penyimpanan tersebut sebenarnya sudah sangat sedikit karena CWS sebelumnya telah kehilangan pemasok udang segar.
Aset yang dijual tersebut terdiri dari dua bidang tanah dengan hak guna bangunan (HGB) masing-masing seluas 10 ribu meter persegi di Medan.
Selain itu, terdapat tanah seluas 6.590 meter persegi di Sidoarjo dan tanah lainnya di Medan 12.183 meter persegi.
Penjualan Aset Erwin menjelaskan asetaset tersebut dijual kepada PT Surya Hidup Satwa Indonesia (SHSI) yang merupakan pihak terafiliasi dengan CP Prima. Saat ini, SHSI merupakan pemegang saham 22,99 persen dari CP Prima.
Selain itu hubungan afiliasi juga terjadi karena CP Prima dan SHSI memiliki pemegang saham yang sama yakni Central Pertiwi yang menguasai 0,27 persen saham CP Prima dan 0,01 persen saham SHSI.
Kendati transaksi dengan pihak terafiliasi, Erwin mengaku transaksi tersebut dilakukan pada nilai pasar wajar dan bukan merupakan transaksi material karena nilainya masih di bawah 20 persen dari ekuitas CP Prima yang mencapai 4 triliun rupiah.
Oleh sebab itu, transaksi penjualan aset tersebut tidak memerlukan persetujuan dari pemegang saham independen.
Penilai Independen Nirboyo Adiputro dalam laporan penilaiannya menilai rencana penjualan aset oleh CWS tersebut tidak akan merugikan pemegang saham independen.
“Penjualan aset CWS akan mendatangkan keuntungan berupa adanya tambahan modal kerja operasional untuk tambaktambak yang ada di Grup CP Prima lainnya,” katanya.
nse/E-7
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar