07 Mei 2010

Pernyataan Bersama: Stop Industri Tambak Udang yang Mengancam Kedaulatan Pangan dan Umat Manusia

Ditulis Oleh Administrator Monday, 08 March 2010 Senin, 8 Maret 2010 Pernyataan Bersama: Stop Industri Tambak Udang yang Mengancam Kedaulatan Pangan dan Umat Manusia Dampak merusak tambak udang di wilayah pesisir telah ditemui sejak lama. Mangrove dipangkas dan areanya dikonversi menjadi tambak. Luasan mangrove menyempit sehingga kian sulit memastikan terlindunginya pesisir dari bencana abrasi, angin topan, dan tsunami. Pemangkasan itu juga berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem. Mangrove merupakan tempat berkembangnya sejumlah spesies seperti ikan dan kepiting, termasuk penyokong kebutuhan sehari-hari penduduk pesisir dunia yang memerlukan kayu bakar serta obat-obatan. Budidaya udang kini merupakan tren dunia dan menyuplai konsumsi penduduk di sejumlah negara maju, namun merupakan ancaman ketahanan pangan dan penghidupan penduduk dunia selatan. Industri udang memakai bahan kimia dalam bentuk antibiotik serta pakan, dan buangan tambak mencemari perairan pesisir. Industri membutuhkan lahan luas, selalu berekspansi ke tempat yang subur dan meninggalkan lahan yang tidak lagi produktif sehingga kian memiskinkan komunitas yang hidup di atasnya. Intrusi air laut tidak mungkin terelakkan. Salinasi menurunkan produktivitas lahan pertanian di sekitar pesisir sehingga sulit untuk ditanami bahan pangan pokok seperti padi. Konversi lahan gambut dan mangrove menjadi tambak udang turut melepaskan karbon ke atmosfer. Industri tambak udang pada dasarnya merupakan bisnis yang tidak berkelanjutan. Industri tambak udang turut berdampak negatif terhadap umat manusia, yakni perempuan pekerja serta mereka yang menentang keras. Aktivis perempuan di banyak negara mengalami intimidasi, kekerasan, pemerkosaan, dan dibunuh. Dalam konteks Indonesia, lebih dari 60 persen produksi udang nasional per tahun dikelola oleh satu industri bernama Charoen Pokphand Ltd (CP). CP mempekerjakan buruh perempuan pengupas kepala udang yang berdiri setidaknya delapan jam dalam sehari. CP juga meninggalkan lahan tambak Bumi Dipasena Jaya yang tidak lagi subur seluas 16.000 hektar. Ada 7.000 petambak plasma dan keluarga yang hidup di sana dan semakin tak berdaya baik secara ekonomi dan sosial. Kontrak plasma menghitung setiap jengkal penghidupan mereka. Hidup mereka terpuruk oleh rencana tersusun yang dibuat perusahaan. Kami tidak melihat ada dasar-dasar empirik yang kuat untuk membenarkan atau melegitimasi industri tambak udang. Saat ini, beberapa lembaga internasional, importir, dan industri ritel berupaya mengembangkan standar bisnis budidaya yakni Aquaculture Stewardship Council (ASC) di antaranya udang melalui Dialog Budidaya Udang (Shrimp Aquaculture Dialogue). Standar tersebut dikembangkan menjadi sertifikasi yang dalam catatan sejarah penerapannya di sektor perikanan tidak mampu menjawab permasalah dampak negatif industri udang. Sertifikasi juga tidak menampung masukan penduduk selatan. Sejak awal inisiatif ASC mewarisi gejala yang sama, menerima masukan dari dunia usaha, serta konsultasi dan pelibatan publik yang hanya menjangkau pihak-pihak tertentu saja. Kita mengingatkan, mengajak anda untuk perduli dan menghentikan praktek industri tambak berikut mekanisme yang mencoba mengkamuflase wajah pertambakan di seluruh dunia. Kita mendorong dan meminta pemerintah dan lembaga keuangan untuk: 1. Memahami dampak negatif industri tambak udang terhadap ketahanan pangan dan daya keselamatan dari bencana di pesisir. Moratorium tambak udang dan perlindungan mangrove serta sumber daya perikanan adalah keharusan sehingga stok ikan terjaga, penduduk sehat dan sejahtera. 2. Mencegah dan melarang input finansial beserta bentuk bantuan lainnya yang mendorong perluasan industri tambak udang. 3. Mengakui dan menghormati hak ulayat penduduk yang mengelola wilayah pesisir dan sumber daya perikanan, juga mendukung upaya mereka bertahan dari dampak perubahan iklim. 4. Memahami konteks kekinian bahwa industri tambak udang mensuplai kebutuhan protein sejumlah negara maju, dan mengancam ketersediaan gizi yang cukup bagi penduduk di selatan dunia. Mereka yang mendongkrak konsumsi udang negara maju dan meneruskan agenda pro dunia usaha yakni standar bisnis perikanan harus menyadari tanggung jawab atas berlanjutnya pelanggaran hak azasi, membayar darah, dan keringat penduduk di negara-negara selatan. Hormat dan jabat erat, 1. Riza Damanik, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Indonesia 2. Berry Nahdian Furqon, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Indonesia 3. Nafian Faiz, Perkumpulan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW), Indonesia 4. Ade Muttaqin, Bina Desa, Indonesia 5. Iin Rohimin, Koalisi Masyarakat Pesisir Indramayu (KOMPI), Indonesia 6. Tajjrudin Hasibuan, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) , Indonesia 7. Natasha Ahmad, Asia Solidarity against Industrial Aquaculture (ASIA), Bangladesh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar